Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen: Gadis Lumpuh Itu Aulsy Pha


Gadis Lumpuh Itu Aulsy Pha - Minggu pagi yang cerah. Secerah hatiku saat Mama mengajakku ke taman, mumpung libur kerja katanya. Tentu hal ini membuat sorak gembira di hati, karena taman kota merupakan keinginanku dari bulan lalu, hanya saja kesibukan Mama membuat waktunya tidak bisa dibagi.

Dan, di sinilah aku sekarang, duduk di bangku taman bersama Mama sembari mengamati sekitar. Sesekali aku tertawa kecil, saat menyaksikan seorang badut yang sedang menampilkan aksinya di depan anak-anak.

"Boleh saya duduk di sini, Mbak?"

Aku mendongak. Tampak seorang wanita paruh baya tengah yang kutebak berumuran sama dengan Mama berdiri menatapku dan Mama bergantian, di tangan kanannya menggandeng tas yang aku taksir mempunyai nilai yang cukup tinggi.

"Boleh, Mbak. Silahkan! Lagian ini bangku umum, kok, siapa pun boleh duduk di sini." Mama mempersilahkannya duduk. Sedang aku hanya mengangguk seraya mengumbar senyum padanya.

Mama dan Tante Mirna, nama yang ia sebut saat memperkenalkan diri tadi, terlibat percakapan hangat. Mama memang pandai menempatkan diri dengan orang baru, hingga dengan Tante Mirna mudah saja baginya mengakrabkan diri.

"Eh, lihat deh, Mbak ... tuh orang kasihan bener ya, masih gadis tapi cacat begitu,"

Aku dan Mama seketika menoleh kemana jari Tante Mirna menunjuk. Tepat di depan sana, sepuluh meter dari posisiku sekarang terlihat seorang gadis cantik tengah tertawa menikmati lelucon badut yang seakan tiada hentinya mencipta tawa. Kalau diamati sekilas memang tidak ada yang salah dari dirinya, wajahnya begitu sejuk di pandang. Matanya teduh, senyumnya pun terlihat tulus. Tapi, saat diamati keseluruhan, barulah terlihat bahwa ia duduk di atas kursi roda. Hal itu menandakan kalau kakinya tidak bisa difungsikan lagi, atau dengan kata lain mengalami kelumpuhan.

Di belakang gadis itu, seorang wanita paruh baya yang dengan sabar mendorong kursi roda membawa kemana gadis itu menuju.

"Sudah takdir dari Allah, Mbak." Akhirnya Mama menjawab setelah jeda beberapa saat.

"Iya sih. Tapi, Mbak ... saya jadi kepikiran sama masa depannya, gimana pendidikannya? Kerjanya? Jika kondisinya seperti itu. Sedang untuk berjalan saja dia hanya bisa mengandalkan kursi roda. Pasti sangat menghambat untuknya beraktivitas," Tante Mirna berucap sambil menatap gadis itu dengan tatapan iba.

Mama menautkan kedua alisnya, "rezeki sudah Allah yang ngatur, Mbak. Kita juga tidak bisa memandang dari satu sisi, lalu mengabaikan sisi yang lain. Bisa jadi dia punya cara sendiri dalam menuntut ilmu yang tentunya bisa memudahkan dirinya. Juga soal kerja, bisa saja dia mempunyai kemampuan yang lebih dalam berkarir, mengimbangi orang-orang yang punya fisik sempurna, bahkan bisa lebih tinggi dari mereka. Bahkan seorang Ilmuwan seperti Stephen Hawking bisa menjadi Fisikawan yang hebat dan terkenal di dunia walau ia divonis lumpuh." Mama menegaskan. Dari raut Mama memancarkan ketidaknyamanan dalam obrolannya dengan Tante Mirna.

"Tapi, Mbak. Dia itu perempuan, gimana nanti kalau dia menikah? Yang ada malah nyusahin suami. Seperti yang kita tahu, tugas seorang Istri itu berat, harus melayani suami, menyiapkan segala sesuatu untuk suami, apalagi jika udah punya anak, tugas kita menjadi lebih besar. Tidak bisa hanya diam saja di atas kursi roda seperti itu. Bisa-bisa suami nggak betah karena keadaannya yang memperihatinkan." Tante Mirna seakan tidak mau kalah dengan pendapatnya.

Heran, mengapa Tante Mirna bisa sensi begitu kepada gadis itu? Kenal saja tidak tapi sikapnya terus menerus menjatuhkan.

Sesak kurasa, walau bukan aku yang dibicarakan oleh Tante Mirna tapi sakitnya juga menusuk relung hati. Aku ingin angkat bicara tapi keadaan membuatku hanya bisa diam dan menyimak.

"Mbak ... seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, jodoh, rezeki, maut itu semua sudah diatur oleh Sang Pencipta. Tugas kita hanya berdo'a, ikhtiar, tawakal, dan tentunya ibadah yang bener. Kita juga nggak berhak menghakimi kehidupan seseorang seperti itu. Bisa saja yang kehidupannya terlihat buruk, malah faktanya jauh lebih baik dari kita. Jangan terlalu fokus mengoreksi kehidupan orang lain, hingga lupa mengoreksi diri sendiri," tekan Mama. Wajah Mama sudah merah padam, emosi sendiri menanggapi perkataan Tante Mirna.

"Tapi kita bicara realita saja deh, Mbak. Kalau seandainya anak saya atau Mbak yang mengalami hal itu, pasti akan capek dan tentunya banyak menguras tenaga menghadapi kondisinya. Seharusnya orang tuanya juga memikirkan kehidupannya, kan bisa bawa berobat, terapi, operasi kaki atau apalah yang penting dia bisa sembuh. Jadi selama hidupnya nggak hanya mengandalkan kursi roda seperti itu!"

Mataku memicing sesaat. Mengucap istighfar berkali-kali karena omongan Tante Mirna yang memancing emosi.

"Kita juga tidak tahu kan seberapa besar usaha yang sudah mereka lakukan dalam pengobatan gadis itu? Bisa saja mereka sudah berjuang mati-matian untuk kesembuhannya, tapi kembali lagi, Allah lah yang Maha Penyembuh. Tidak ada yang salah dengan kondisi gadis itu, yang salah hanya penilaian buruk orang-orang di sekitarnya. Lagi pula kehidupan kita tidak diusik oleh mereka, kan? Jadi tidak pantas kita mengusik hidup mereka."

Tante Mirna bungkam. Beberapa kali terdengar dia mendengkus kesal. Mungkin karena pendapatannya selalu mampu dipatahkan oleh Mama.

"Ya udah ya, Mbak. Saya dan anak saya pergi dulu, soalnya sudah mulai siang, pun cuaca semakin panas," Mama bangkit dari duduk. Kemudian berjalan mengitari bangku taman, berhenti di bawah pohon Mangga mengambil kursi roda yang sengaja diletak di sana agar dudukannya tidak terkena sinar matahari langsung.

Perlahan kursi roda itu digerakkan dan berhenti di depanku. Dibantu Mama, aku dipapah agar beralih duduk dari bangku taman ke kursi roda.

Terlihat sorot kaget dari manik hitam Tante Mirna.

"Mbak, anakmu --"

"Anak saya juga lumpuh, Mbak. Sama seperti gadis itu!" potong Mama. "Tapi insyaa Allah anak saya bisa menjalani kehidupan dengan keadaan yang baik-baik saja, walau kakinya tidak bisa difungsikan, tapi dia masih punya indera lain untuk mengembangkan bakatnya agar bisa meniti masa depan yang layak." Mama tersenyum walau agak sedikit getir.

"Maaf ya, Mbak!"

Masih kudengar perkataan maaf dari Tante Mirna sebelum akhirnya kami pergi menjauh dari bangku taman. Meninggalkan segala ocehan darinya tentang gadis itu yang mempunyai nasib sama sepertiku.

Ya, aku Fitri. Gadis enam belas tahun yang divonis lumpuh dua tahun lalu.

End


Penulis : Aulsy Pha