Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Puisi atau Fiksi?

Ilustrasi dari insomnia.

Memutuskan untuk tidur cepat malam ini bukanlah pilihan terbaik. Sebab pikiran di kepalanya terlalu bising, peristiwa begini umum sebetulnya, cuman ia sadar.

Sekarang apalah pentingnya sebuah ucapan manis yang dikirim untuknya melalui pesan singkat jarak jauh yang biasanya sampai ke layar ponsel atau apapun yang kedengaran romantis di kuping saat teleponan!

Lagi pula, cinta barangkali telah kehabisan kata dan kesedihanlah yang sebenarnya begitu sulit dijelaskan, maka ia benamkan wajahnya ke ceruk bantal. Dimatikannya lampu kamar, dan ditutupnya sekujur badan dengan selimut tebal. Sejenak ia pun merasa sendiri.

Mulai mengenang beberapa waktu yang cukup lama, sebelum dan sesudah seorang pecinta memperkenalkan diri kemudian menjauh darinya.

Memang hidup lebih baik ditamatkan jika selalu tentang puisi. Faktanya nasib tak melulu kebahagiaan, harapan sering bikin kecewa, dan ia tak peduli apabila ada seseorang yang bersikeras menulis sebuah catatan panjang tentangnya, walau sepi disembunyikan untuk terakhir kalinya.

Semoga perempuan itu tidak sempat membaca cerpen ini dan lelaki yang dimaksud akhirnya dapat tidur nyenyak karena pada dasarnya saya bukan penyair.

Tapi karena di luar sana terdengar suara ngeong dua ekor kucing yang seperti menangis, jadilah saya memilih tidak tidur cepat, meski bukan diniatkan sebagai empati kepada perempuan itu yang entah sudah terlelap atau belum.

Apakah saya tidak berlebihan kalau menganggap tulisan ini puisi? Ahh, saya tak mau menyebutnya demikian, dan mudah-mudahan besok pagi kedua kucing tersebut kembali bersahabat agar saya tidak iseng atau repot terus menceritakan kepada pembaca sesuatu yang ternyata hanyalah fiksi. Sedangkan kisah, baik mengenai si perempuan maupun laki-laki itu bisa terjadi kapan saja, tidak harus malam ini.


(Ps)