Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Jarod saksiku, bahwa aku bukanlah penyair

Jarod merupan tempat wisata kuliner terkenal yang ada di Manado. 

Waktu itu aku sedang berada di Jarod (Jalang Roda). Jarod itu tempat wisata kuliner terkenal yang ada di Manado. Disitu juga terdapat banyak warung kopi, dan tempat yang paling sering aku kunjungi di jarod itu adalah warung kopi, karena tujuanku ke jarod hanya ingin menikmati secangkir kopi. Biasanya, aku ke jarod ketika sepulang dari kampus dan dihari-hari libur kampus.

Aku orang yang slalu berimajinasi dengan kopi, berfikir dengan kopi, dan menulis pun harus dengan secangkir kopi. Bagiku, kopi itu adalah sahabat yang paling mengerti dan yang paling setia. Dan menikmati secangkir kopi, bagaikan cinta yang menghangatkan sisi-sisi kalbu, memenuhi dunia dengan warna-warna pelangi. Kebanyakan ide-ide ku lahir dengan secangkir kopi. Sehari tanpa kopi, ibarat hidup tanpa cinta, yang menjadikan jiwa sepi tiada arti.

Pada saat aku lagi asik-asik menikmati secangkir kopi ku, tiba-tiba ada suara yang bertanya kepadaku. "Benarkah kau seorang penyair?" Tanya lelaki dengan wajah yang tak pernah kulihat sebelumnya. Tatapannya penuh dengan tanda tanya dan keraguan.

Aku terdiam menatap raut wajahnya. Dalam hatiku berkata, siapakah lelaki ini, dan mengapa dia bertanya seperti itu padaku. "Hmn tidak, tidak. Aku bukanlah seorang penyair". Jawabku dengan kebingugan.

"Aku tak percaya. Kamu pasti seorang penyair. Aku juga pernah membaca status-status puitis di dinding kronologi fecebook mu. Kalau kamu bukan seorang penyair, mengapa status mu selalu puitisi?" Tanyanya dengan suara yang agak keras.

Aku memejamkan mataku sambil menarik napas panjang. Kali ini aku tamba gugup. Aku mulai berfikir bagaimana meyakinkan orang ini, dan kenapa dia yakin kalau aku seorang penyair hanya dengan membaca status-status facebook ku. Padahal disetiap kata yang membentuk kalimat dalam status facebookku hanyalah kalimat sederhana. Bahkan kalimat seperti itu semua orang pun dapat membuatnya.

"Tidak, aku bukanlah seorang penyair. Aku hanyalah orang biasa, yang menuliskan kalimat biasa pada status facebook ku. Jadi anda jangan berfikir kalau aku seorang penyair hanya karena anda membaca status facebook-ku." Jawabku dengan tegas. Lelaki itu terdiam. Kelihatannya dia mulai menerima dan percaya apa yang barusan aku katakan. Dia pun mulai duduk semeja dengan ku dan mulai memesan secangkir kopi.

Aku pun memperkenalkan diriku kepadanya begitu juga sebaliknya, dia mulai memperkenalkan dirinya sendiri kepada ku. Sambil tersenyum aku memulai pembicaraan dengan topik yang berbeda. Tetapi dalam pembicaraan dia sedikit-sedikit bertanya kepadaku, aku seperti merasa di wawancarai olehnya padahal aku telah melarikan pembicaraan yang tadi.

Berjam-jam kami bicara. Waktu seperti mengalir cepat. Dan tidak terasa, aku telah menghabiskan tiga cangkir kopi. Yah, karena misi utamaku ke jarodkan hanya ingin menikmati secangkir kopi.

"Ok. Kayaknya semua sudah kamu tanyakan. Semua jawaban sudah kuberikan. Sekarang sudah malam. Aku harus segera pulang ke kos ku." Ujarku kepadanya.

"Aku minta maaf karena telah menahanmu, tak terasa sudah sekian jam disini. Sekali lagi, terimakasih. Karena kamu telah meluangkan waktumu untuk ngobrol bersamaku. Nanti kopi mu biar aku yang bayar".

"Iya, sama-sama." Balasku sambil bersalaman tangan untuk berpamitan pulang.

Dalam perjalanan pulangku, aku selalu berfikiran, Apa benar aku ini seorang penyair? Padahal yang ku tau, aku tak pernah bersyair. Tulisan-tulisanku pun belum layak dikatakan bahwa aku seorang penulis.

Aku bukanlah orang yang kali pertama datang di jarod. Dan aku yakin, jarod pasti bisa menilai kalau aku bukanlah seorang penyair. Kalau memang diriku adalah penyair, pasti aku hanyalah penyair jalanan. Haa, aku jadi bingung menilai diriku sendiri. Gara-gara lelaki itu, aku merasa hari ini aku tidak dapat menikmati kopi dengan baik, otakku terasa tidak berfungsi. Padahal tadi tadi aku telah meneguk tiga cangkir kopi.


Penulis: Zulkifli Otoluwa