Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sudahkah Teknologi Membantu Pembelajaran ?


Sudahkah Teknologi Membantu Pembelajaran ? - Teman-teman guru banyak yang sudah memakai berbagai jenis kelas digital. Tapi mereka masih terkuras waktunya untuk mengkoreksi. Ini bukan salah mereka. Tapi pertanyaan kritis justru muncul, kenapa perangkat teknologi tetap tidak menyelamatkan kita dari kerja?

Pernahkah anda bertanya; apa benar teknologi datang sebagai solusi?

Ambil contoh pengalaman beberapa guru. Mereka menggunakan berbagai kelas digital. Tapi masih juga sibuk ngoreksi. Kenapa? Dimana letak otomatisasinya?

Jangan-jangan, teknologi yang ditawarkan dalam kelas digital, hanya kerangkanya saja atau setengah jalan. Seperti trik biasa dalam marketing. Anda hanya diperkenalkan jalan masuk. Didalam sama mereka akan memeras uang anda.

Itulah kemudian yang membuat saya tetap optimis dengan jalan pesimis. Artinya kita akan terus mencoba beradaptasi dengan teknologi untuk menunjukan bahwa kita memang siap bersaing. Tapi karena aturan main persaingan ini dibuat manusia, sangat mungkin terdapat kesalahan dan celah-celah keistimewaan, atau slot khusus bagi beberapa kalangan saja.

Disinilah naluri keadilan perlu diterapkan. Oleh sebab itu penting bagi guru memahami arti keadilan seluas-luasnya dalam teori maupun praktek. Sama seperti kondisi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), tidak ada profesi yang paling bergairah dan ambisius untuk segera menggunakan teknologi digital, dan hadir didalamnya selain guru.

Bahkan, kelewat semangat, para guru seringkali membawa tradisi offline ke dunia digital. Silahkan perhatikan webinar para guru atau kementrian Pendidikan, dan baca kolom komennya. Selain menyapa dengan sopan, para guru biasanya memperkenalkan diri ala ala seminar. Bahkan di kolom komentar mereka meminta link absensi dan kepastian dapat sertifikat.

Hal ini menunjukan betapa kerasnya para guru berusaha beradaptasi dengan teknologi. Disatu sisi, tradisi absensi menujukan bagaimana birokratisme melekat dan mental priyai begitu kuat. Disisi lain, para guru menyumbangkan etika atau mengimput etika baru dalam berkomentar di sosial media. Bayangkan selama ini netizen +62 yang kometar tidak ada ahlaqnya. Kadang gak ada adabnya.

Singkat kata, disparitas dan kesenjangan belajar Jarak Jauh bukan berasal dari guru. Dalam hal ini, guru terlampau terampil mengikuti intruksi pemerintah maupun perintah tidak langsung dari cara kerja teknologi.

Masalahnya, teknologi pendidikan bukan “alat” sebagaimana kita memahaminya. Teknologi pendidikan adalah alat yang sudah memiliki nilai bagi dirinya sendiri sebelum di imput kedalam kelas atau pembelajaran. Hasilnya, selama PJJ kita, mungkin saja, berbicara keadilan, dengan fasilitas yang sangat tidak adil.


Penulis: Iman Zanatul Haeri