Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Berdaulat dan Jaya di Laut


Penegakan kedaulatan dan hukum terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Dalam rangka itulah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan lahir. Di dalamnya, Bakamla (Badan Keamanan Laut) menjadi mandat kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk segera dibentuk, menggantikan Bakorkamla (Badan Koordinasi Keamanan Laut).

Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 tentang Bakorkamla mengartikan kegiatan keamanan laut sebagai segala upaya dan tindakan terencana yang diselenggarakan secara rutin dan fungsional oleh masing-masing instansi sesuai lingkup tugas pokok dan fungsinya dalam rangka penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum, serta keselamatan pelayaran dan pengamanan terhadap aktivitas masyarakat dan pemerintah di wilayah perairan Indonesia.

Pusat Data dan Informasi KIARA (September 2014) memetakan empat persoalan utama di laut Indonesia: pertama, penangkapan ikan ilegal, tidak diatur dan tidak dilaporkan; kedua, pembajakan di laut (sea piracy); ketiga, perampokan bersenjata terhadap kapal laut/perahu nelayan dan pemakaian alat tangkap merusak trawl; dan keempat, pencemaran laut.

Untuk persoalan pertama, sudah sejak tahun 2001, jumlah kapal pencuri ikan mencapai 6.215 kasus. Sementara kapasitas Negara untuk mengawasi, melakukan patroli dan menegakkan hukum di laut belum maksimal. Angkatan Laut memiliki kapal patroli sebanyak 70 unit, tetapi yang bisa beroperasi hanya 10 dan hanya sanggup berpatroli 30 persen dalam sehari.

Tak jauh berbeda, dari 490 kapal patroli yang dimiliki Kepolisiaan Republik Indonesia, yang beroperasi separuhnya dan sanggup dalam dua jam sehari, serta hanya 10 hari dalam satu bulannya. Begitu pula armada Kementerian Kelautan dan Perikanan: dari 24 kapal pengawas, hanya 10 yang bisa beroperasi.

Kemampuan Negara yang minim juga menyulitkan penjagaan dan pemanfaatan jalur pelayaran dan perdagangan maritim dunia untuk kepentingan nasional, di antaranya di Selat Malaka. Padahal, selat ini dilalui sedikitnya 200 kapal dagang antar-negara di dunia dalam sehari.

Data Pemerintah Amerika Serikut di tahun 2011 menyebut bahwa minyak yang diangkut melewati Selat Malaka mencapai 13,6 juta ton atau terbesar kedua setelah Selat Hormuz (15,5 juta ton) yang terletak di antara Iran dan Uni Emirat Arab.

Sudah saatnya Presiden Jokowi memastikan bahwa Indonesia berdaulat dan jaya di laut. Koordinasi dan kemampuan Negara harus ditingkatkan agar sanggup memerangi setiap ancaman yang datang dari luar dan dalam negeri.


Sumber : KABAR BAHARI (September - Oktober 2014)