Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengupas Kembali Hak Nelayan Tradisional

Pasal 33 ayat (3) UUD 45, yang berbunyi "bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikruasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat,"menegaskan adanya penguasaan negara terhadap sumber daya alam yang berada di wilayah kekuasaarnya.

Sementara, anak kalimat "dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" menunjukkan sebesar-besar kemakmuran rakyatlah yang menjadi ukuran utama bagi negara dalam menentukan pengurusan, pengaturan atau pengelolaan atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Penguasaan itu, harus juga memperhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat (hak ulayat), hak masyarakat adat serta hak-hak konstitusional lainnya yang dimiliki oleh masyarakat dan dijamin oleh konstitusi, misalnya hak akses untuk melintas, hak atas lingkungan yang sehat, dan lain-lain.

Sebab, tanpa mengedepankan kepentingan rakyat, penguasaan negara terhadap sumber daya alam dapat menunjuk pada kekuasaan absolut-totalitarian. Dengan kata lain, penolakan terhadap privatisasi oleh korporasi (kelompok) dapat beralih kepada privatisasi oleh negara.


Mengerucut pada problematika nelayan belakangan ini, nampaknya pemerintah mesti melibatkan mereka dalam pembuatan maupun pengawasan kebijakan yang berhubungan dengan sumber daya kelautan.

Penegasan mengenai hal ini dengan jelas diatur dalam UU pesisir dan pulau-pulau kecil Pasal 12 ayat (1 C) menjamin "terakomodasikannya pertimbangan-pertimbangan hasil konsultasi publik dalam penetapan tujuan pengelolaan kawasan serta revisi terhadap penetapan tujuan dan perizinan".

Belum lagi, dibatalkannya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) oleh Mahkama Konstitusi, secara implisit meletakkan hak nelayan tradisional sebagai hak turun-temurun yang wajib dihormati penyelenggara negara.

Adapun, hak nelayan yang dijabarkan MK meliputi, hak untuk melintas (akses), hak untuk mengelola sumber daya sesuai dengan kaidah budaya dan kearifan tradisional yang diyakini dan dijalankan secara turun-temurun, hak untuk memanfaatkan sumber daya, termasuk hak untuk mendapatkan lingkungan perairan yang sehat dan bersih.

Sampai disini, berbagai pihak di kawasan pesisir se-Indonesia, diharap mampu mengedepankan kembali posisi nelayan tradisional sebagai pihak yang aktif berpartisipasi dalam pembangunan negeri. Tentu saja, hal ini berimplikasi pada program-program pembangunan di wilayah perairan dan pesisir yang tidak menyudutkan posisi nelayan. Sebab, apapun alasannya, klaim sukses pembangunan tidak boleh menindas hak-hak nelayan tradisional.


Sumber: Buletin ANTRA edisi Desember 2013