Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen: Jodohku Berawal Dari Jualan Online


Aku memposting barang untukku jual di grup jual beli online. Beberapa menit kemudian, notifikasi pemberitahuan masuk. Ada yang berkomentar dan bertanya tentang jualanku.

Dari @Bayyyu.
[Mba, mukenahnya berapa?]

Aku membalas dengan harga enam puluh lima ribu. Tak lama, ia langsung membalas komentar. 'Bayyyu membalas komentarnya pada kiriman Anda.'

[Bisa antar di tempat kemarin? Jalan purwarkata No. 11]

“Hari ini, enggak bisa. Soalnya lagi sibuk,” balasku pada komentarnya. Notifikasi masengger masuk. Pesan dari akun bernama Bayyyu tadi.

[Kirim aja nomornya. Biar saya datang ambil sendiri ke rumah]

Aku pun memberikan nomorku. Selang beberapa menit, pesan masuk dari aplikasi whatsapp.

[Mba, ini saya bayu. Yang chat, mau ambil mukenah]

Satu pesan dikirim olehnya. Aku ingin membalas. Namun, terlihat ia sedang mengetik. kuputuskan untuk menunggu.

[Sebenarnya, saya enggak beli mukenah]

[Saya, hanya mau berkenalan lebih dekat]

Dua pesan sekaligus dikirim olehnya. Apa berkenalan? Pertama, ia meminta nomorku dengan alasan ingin mengambil mukenah. Karena itu, aku memberikan nomorku. Aku memblokir nomornya di whatsapp. Kemudian, ia menelpon via telpon.

[Assalamualaikum. Niatku baik. Aku ingin serius]

“Serius? Maksudnya ...?” tanyaku.

[Saya ingin serius, lebih jelasnya mengajak taaruf]

“Kenapa Anda ingin taaruf dengan saya? Jelas-jelas, saya dan Anda belum berkenalan sebelumnya,” balasku.

[Justru dari itu, taaruf berawal dari ketidak kenalan. Kemudian, saling mengenal]

“Sebelumnya, apa alasan kamu mentaarufkan saya?”

[Kamu wanita bercadar yang selama ini saya cari. Dari tutur bicaramu yang sopan dan lembut, membuatku semakin yakin]

“Dari mana, kamu tau saya bercadar?”

[Kemarin, kamu datang ke rumah mengantar pesanan kakak saya]

“Baiklah. Kasih saya waktu buat mikir.”

Aku mematikan telepon sepihak. Entah dia serius atau tidak. Tetapi, niatnya baik. Bisa dibilang ia pria pemberani. Tak ingin basa-basi, telepon langsung mengajak taaruf. Tunggu. Sejak kapan aku percaya dengan pria asing?

Selama seminggu, Bayu memberikan waktu untukku berpikir. Dengan Bismillah, aku mantapkan keputusan dengan menerima ajakan darinya.

Sudahku bicarakan dengan ibu dan ayah dan mereka menyetujui. “Jika, ada seseorang yang sangat serius, mengapa tidak?” kata mereka.

Seminggu telah berlalu. Saat tengah duduk di balkon menghirup udara segar, tiba-tiba telepon masuk dari Bayu.

[Ini sudah seminggu. Saya ingin meminta kepastian. Apakah kamu menerima ajakan saya untuk taaruf?]

Ternyata, dia memang sangat serius. Menanyakan kepastian tentang keputusanku dan aku berkata, “Saya maunya taaruf sesuai syariat. Tidak ada ketemuan secara langsung kecuali Nazor (saling melihat wajah masing-masing untuk memantapkan hati sebelum lamaran benar terjadi).”

[Baiklah, setelah tiga bulan. Saya akan ke rumah kamu, tetapi tolong kirim biodata masing-masing agar bisa saling mengenal]

“Baiklah. Saya akan mengirim nanti. Sebelumnya saya ingin bertanya. Bagaimana jika kita tidak berjodoh nanti?” tanyaku.

[Jika, kamu bukan jodohku. Aku hanya minta yang terbaik kepada Allah. Namun, jika kamu adalah jodohku, berarti kamulah yang terbaik untukku]

Jawabannya membuatku hening, tak bisa berkata apa pun.

“Oke.” Aku mematikan telepon sepihak. Kemudian, mengirim biodata ku. Dia juga mengirim biodata dirinya. Aku membaca dengan seksama.

Tiga bulan telah berlalu. Kami sudah saling mengenal satu sama lain. Kami tak pernah chattingan bahkan telepon. Komunikasi kami, berakhir saat saling mengirim biodata tiga bulan yang lalu. Karena, pada dasarnya kami bukan Mahrom. Tidak boleh, melakukan komunikasi dengan lawan jenis, kecuali itu penting.

[Sekarang, aku ke rumah, ya. Mau silahturahmi, sekaligus mau Nazor. Kemudian, khitbah]

Bayu mengirim pesan padaku. Lamaran? Ya Allah, dia benar-benar serius. Pukul empat sore. Bayu datang membawa hantaran bersama dengan keluarganya.

Bayu beserta keluarganya, kini tengah duduk di lantai beralaskan karpet panjang berwarna biru muda. Ibu, Ayah dan aku, duduk berhadapan dengan keluarga Bayu.

“Kedatangan saya, ke sini, berniat baik ingin melamar anak ibu,” ucap Bayu langsung.

“Namun, bukankah pasangan taaruf harus saling melihat wajah masing-masing untuk memantapkan hati sebelum lamaran benar-benar terjadi?” sambungnya lagi.

“Baiklah. Jika wanita lain memiliki kecantikan untuk dibanggakan di depanmu. Saya hanya ingin Allah yang jadi alasanmu untuk memilih anak saya,” ujar Ayah.

Ibu menuntunku agar membuka cadar yang kukenakan. Dan kini, aku dan Bayu saling menatap satu sama lain. Kemudian, aku mengenakan kembali cadarku. “Kenapa dipakai lagi?” tanyanya. Ihh. Ya, harusku pakai lagilah.

“Baiklah. Saya ingin benar-benar melamar Aisyah,” tuturnya.

Hantaranya yang ia bawa telah keluargaku terima. Besok adalah acara Ijab Qabul kami. Semoga dilancarkan oleh Allah SWT.

Pagi hari telah tiba. Rumah dengan dekorasi yang memberi kesan indah dan mewah.

Kini, aku tengah duduk berdampingan dengan Bayu. “Saya nikahkah dan kawinkan engkau dengan anak saya AISYAH BINTI SYAIFUL dengan maskawin, dan seperankat alat shalat. Dibayar tunai,” ucap Ayahku.

“Saya terima nikah dan kawinya AISYAH BINTI SYAIFUL dengan maskawin tersebut. Dibayar tunai!” ucap Bayu.

Saah ... ucap para tamu bersamaan. Aku mencium punggung tangan Bayu-suamiku. Dan ia mencium keningku. Indah bukan? Lebih baik taaruf dari pada pacaran. Pacaran membawamu menuju Zina, sedangkan taaruf membawamu menuju Zannah.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: wa laa taqrobuz-zinaaa innahuu kaana faahisyah, wa saaa`a sabiilaa.

Artinya: "Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra' 17: Ayat 32)

Tamat.


Penulis : Rizka Khusnul