Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Peran Imam Khomeini Dalam Revolusi Iran

Tidak ada revolusi yang terjadi tanpa suatu kepemimpinan revolusioner. Dalam situasi revolusioner manapun, pemimpin memainkan peran utama dalam mengilhami dan memandu perjuangan menuju pemantapan dan terwujudnya perubahan revolusioner, yang memicu aspirasi massa yang tidak puas, bersifat sentral bagi generasi yang antusias, dan setia mendukung pergerakan revolusioner.



Kemunculan Imam Khomeini sebagai pemimpin pergerakan revolusioner Islam yang meyakinkan utamanya bersumber dari karakter pribadi beliau yang unik. Gaya hidup beliau yang sederhana, serta menghindari segala kemewahan duniawi selalu menjadi bahan cemoohan pendukung rezim pahlevi yang serba berlebihan, rakus, tidak jujur, otoritarian, dan senang berwewah-mewahan.

Di masa pemerintahan Syah Iran, Iran mengakui berdirinya negara Zionis, bersahabat dan mengadakan perjanjian dengannya. Namun sejak munculnya Revolusi Islam Iran di tahun 1979 yang dipimpin Imam Khomeini, Iran tidak mengakui berdirinya negara Zionis itu, memusuhi, dan menentangnya. Sepanjang dua model pemerintahan ini, hubungan-hubungan yang terjadi didominasi peran politik AS di kawasan Timur Tengah.

Syah Iran adalah boneka setia AS. persahabatan dan perjanjian kerja sama antara Iran dan Israel merupakan gambaran ambisi Syah Iran Reza Pahlevi yang ingin tetap menjadi kaki tangan AS. Sebaliknnya, Revolusi Islam Iran merupakan musuh besar AS di kawasan Timur Tengah. Permusuhan Iran terhadap Israel merupakan konsekuensi logis dari permusuhan dan pertentangan Revolusi Islam Iran terhadap AS.

Pada Januari 1963, Syah yang mengumumkan program reformasi berisi enam poin, yang dijulukinya dengan Revolusi Putih (White Revolution) yang sudah diterangkan di bab sebelumnya. Imam Khomeini segera mengatur rapat dengan para koleganya di Qom guna menekan mereka akan pentingnya menjegal rencana Syah. Akan tetapi Syah tetap saja tidak menunjukan tanda-tanda untuk mundur. Meski begitu, Imam Khemeini tidak merasa gentar. Malahan beliau menekan ulama Qom untuk memboikot referendum yang dirancang Syah untuk memperoleh kesan persetujuan masyarakat atas Revolusi Putihnya.

Pada 22 Januari 1963 Imam Khomeini mengeluarkan deklarasi tegas yang mengecam Syah dan rencananya.Imam Khomeini tampil sebagai suara anti-pemerintah di antara minoritas ulama yang menganggap Islam dan Iran tengah terancam bahaya dan kekuasaan mereka melemah, dan yang mendukung keterlibatan politik kaum ulama.

Program modernisasi Barat yang dijalankan Syah (terutama pembaharuan hukum pertahanan dan hak suara bagi kaum perempuan) dan ikatan erat Iran dengan AS, Israel dan perusahaan-perusahaan multinasional, dan hak pilih perempuan yang diberikan kepada perempuan oleh pemerintah di tahun 1962 dalam menghadapi oposisi para ulama dipandang sebagai ancaman bagi Islam, kehidupan Muslim dan kemerdekaan nasional Iran. Dari mimbarnya di Qum, Imam Khomeini menjadi suara oposisi yang tidak mengenal kompromi melawan kekuasaan mutlak dan pemerintahan atau pengaruh asing.

Pada 4 November 1964, pasukan tentara mengepung rumah Imam Khomeini di Qom, kemudian menahan beliau. Imam pun langsung dibawa ke bandara Mehrabad, Teheran, untuk menjalani hukuman di Turki. Perihal dipilihnya di Turki karena rezim Syah mempunyai kerja sama di bidang keamanan. Pada tanggal 5 September 1965, Imam Khomeini meninggalkan Turki untuk menuju Najaf di Irak. Di sana beliau menetap selama tiga belas tahun sebagai pusat tradisional pembelajaran dan penziarahan Syi’ah. Di Najaf Imam Khomeini mengajarkan fiqih di Madrasah Syaikh Murtaha Anshari.

Perkembangan pergerakan Islam yang tidak terhenti selama pengasingan Imam Khomeini tidak seharusnya dinisbahkan kepada pengaruh beliau atau kepada ulama yang berkaitan dengan beliau. Tanda yang paling jelas akan tetap kuatnya popularitas Imam Khomeini pada pra-revolusi, selain di Qum, muncul pada 1975, saat berlangsungnya peringatan pemberontakan 15 khurdad. Imam Khomeini menanggapi kejadian ini dengan sebuah pesan bahwa kejadian di Qum dan kekacauan di tempat lain adalah tanda bahwa kebebasan dan kemerdekaan dari tangan imperialisme sudah di depan mata. Revolusi akan pecah sekitar dua setengah tahun kemudian.

Diawali dengan kematian Haji Sayyid Mustafa Khomeini, yaitu putra dari Imam Khomeini di Najaf pada 23 oktober 1977 mulailah rantai peristiwa berakhirnya rezim pahlevi dan terbentuknya Republik Islam. Kemudian muncul protes di Qum, Taheran, Yazd, Masyhad, Syiraz, dan Tabriz. Imam Khomeini bersikap tenang mengahadapi musibah itu dan menganjurkan umat Muslim untuk menunjukkan keberanian dan harapan.

Seiring dengan berkecamuknya berbagai peristiwa yang terjadi di Iran. Imam Khomeini menyampaikan pesan dan pidato yang sampai ke kampung halamannya, tidak hanya melalui tulisan, tetapi juga kaset. Imam memuji rakyat yang telah berkorban, mengecam Syah dan menyebutnya sebagai kriminal, dan menggarisbawahi tanggung jawab pembunuhan dan penekanan kepada AS.

Presiden Jimmy Carter bertamu ke Teheran pada malam tahun baru 1977 dan menyanjung Syahl sebagai orang yang telah menciptakan negara yang stabil di salah satu kawasan dunia panas dan memberikan dukungan militer dan politiknya kepada Syah. Dengan kondisi yang seperti ini tampaknya sudah memungkinkan bagi Imam Khomeini untuk pulang ke Iran dan menuntaskan tahap akhir revolusi.

Akhirnya pada pukul 9.30 pagi, tanggal 1 Februari 1979, pesawat yang ditumpangi Imam Khomeini mendarat di bandara Mehrabad, Tehran. Setelah itu, Imam Khomeini langsung menuju Behet-e Zahra, pemakaman para syuhada revolusi. Walaupun beberapa orang mencegah Imam Khomeini pergi ke sana, namun Imam Khomeini tetap berketetapan hati pergi ke sana. Begitu banyak manusia yang memadati jalan-jalan dari bandara hingga Bahest-e Zahra sehingga mobil yang ditumpangi Imam Khomeini sulit bergerak. Sampai-sampai untuk menuju ke podium Imam Khomeini harus diangkut dengan helikopter.

Pada 10 Februari 1979, pemerintah mengumumkan keadaan darurat secara total. Mereka menurunkan seluruh tank dan buldoser ke jalan untuk menumpas revolusi. Imam Khomeini menggagalkannya dengan berbagai sarana dalam waktu sangat cepat. Imam Khomeini menyampaikan pidato kepada seluruh rakyat Iran, “Sesungguhnya pengumuman keadaan darurat yang diumumkan hari ini merupakan tipu muslihat dan bertentangan dengan syari’at. Oleh karena itu, hendaknya rakyat tidak memerdulikannya selamanya.” selama 24 jam terjadi bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara yang masih setia kepada rezim Syah.

Dalam pidatonya di Madrasah yi Fayziyah di Qum, Imam Khomeini melontarkan kritik mementang otokrasi Syah, korupsi, kepincangan sosial, ketidakadilan, dominasi asing, pemberian suara bagi perempuan, dan UU Perlindungan Keluarga, dan kebijakan pemilihan tanah oleh pemerintah. Seruan ini mendapat sambutan dari rakyat yang tidak puas akan situasi ekonomi dan politik yang menyengsarakan kehidupan mereka. Lebih-lebih kesadaran agama yang tumbuh pada bangsa Iran mulai tidak menyukai pemerintah Syah Iran yang sekularistik.

Di sana, beliau juga mengkritik pemerintahan Bakhtiar yang dicapnya sebagai kerikil terakhir dari rezim Syah dan beliau mengumumkan niatnya untuk memberikan tonjokan lansung ke mulut pemerintah Bakhtiar. Kesepakatan yang seperti Imam janjikan, terwujud pada 5 Februari. Dewan tertinggi militer menarik dukungannya dari Bakhtiar. Pagi hari tanggal 11 Februari 1979, dengan kaburnya Bakhtiar keluar negeri, kekuasaan Syah Pahlevi berakhir. Sebagai gantinya berdiri pemerintahan baru dengan sistem Republik Islam. Dan pada hari itu juga Imam Khomeini mengumumkan pemerintahan sementara meminta semua warga Iran yang berusia 16 tahun atau lebih, laki-laki atau perempuan untuk memilih dalam referendum untuk menerima Republik Islam sebagai bentuk pemerintahan dan konstitusi yang baru.

Tidak ada Revolusi yang bisa dinisbahkan sebagai buah perjuangan satu orang saja. Tidak pula bisa ditafsirkan bahwa tujuannya hanya berada di ranah ideologis belaka. Perkembangan ekonomi dan sosial pun membantu menyiapkan landasan bagi pergerakan revolusioner tahun 1978-1979 tersebut. Tetapi yang tidak bisa dipungkiri adalah peran sentral Imam Khomeini dan saratnya nilai Islam dalam revolusi yang beliau pimpin. Di era gelap itulah Revolusi Islam Iran hadir pada tahun 1979 laksana sorot di kancah dunia. Kepemimpinan Imam Khomeini, tokoh karismatik yang lahir dari akar Islam yang kuat, mengejutkan paduan suara massa Muslim dunia.
Abdar Rahman Koya. Apa Kata Tokoh Sunni Tentang Imam Khomeini, h.118-119.

Adel El-Gogary. Ahmadinejad The Nuclear Savior of Tehran, Sang Nuklir Membias Hegemoni AS dan Zionis (Kairo-Damaskus: Daarul Kitab Al-Arabi, 2006), h.158-159.

Ardison Muhammad “IRAN, Sejarah Persia dan Lompatan Masa Depan Negeri Kaum Mullah (Surabaya: Liris, 2010), h. 89.

Diyah Rahma Fauziana-Izzudin Irsam Mujib, Khomeini dan Revolusi Iran, h.55-56.

Kamaluddin M. 2011. Gerakan Perempuan Di Republik Islam Iran Pasca Revolusi 1979. Skripsi (Dipublikasikan). Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah, Jakarta.