Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Negosiasi Hilang : UKT Selangit

Foto: Zulkifli Otoluwa
Dalam perkembangan teknologi dan informasi yang berjalan begitu cepat dan pesat, seperti perkembangan internet (website), komputer, teknologi telekomunikasi, dan lain-lain. Hal ini dikarenakan kebutuhan akan teknologi dan informasi yang sangat tinggi untuk membantu berbagai jenis bidang pekerjaan manusia, salah satunya adalah bidang pendidikan.

Kini Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia tak terkecuali Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado, semuanya serba online. Mulai dari pendaftaran sampai pada tahapan membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) kini melalui udara. Artinya, jika semua serba online, maka sudah tak ada lagi yang namanya wawancara atau negosiasi secara langsung antara orang tua dari mahasiswa baru dan pihak kampus dalam penentuan UKT.

Sebagaimana berita yang dilansir dari Manguni Post, bahwa UKT mahasiswa baru tidak lagi dilakukan secara negosiasi manual atau tawar menawar, seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Jika tahun lalu orang tua dari mahasiswa baru masih berkesempatan untuk melakukan negosiasi manual dengan pihak kampus, kini tidak lagi dikarenakan perubahan sistem UKT yang telah bermetamorfosis menjadi online.

Hilangnya negosiasi antara orang tua dari mahasiswa baru dengan pihak kampus dikarenakan keadilan yang tidak tepat sasaran, sebagaimana evaluasi kampus yang mendapati petugas lapangannya terkooptasi, sehingga orang tidak mampu yang seharusnya mendapatkan UKT standar kini harus membayar UKT lebih, sementara orang yang mampu mendapatkan UKT standar. Melihat data yang ada, kampus pun mulai memberlakukan sistem ini (menghilangkan negosiasi manual).

Keputusan yang terdengar aneh, pasalnya, yang bersalah adalah petugas lapangan, kenapa sistem yang dirubah? Seharusnya, jika kampus mendapati orang-orang yang tidak amanah dalam menjalankan tugasnya, maka orang-orang itulah yang harus ditindaki, bukan langsung mengambil keputusan dengan merubah sistem ke sistem yang tidak memiliki hati.

Sebagaimana yang diucapkan mantan Wakil Dekan 1 (WD1) dari salah satu fakultas UNSRAT. Bahwa sistem ini tidak memiliki emosi, jadi dia tidak mempertimbangkan dari sudut manapun. Letak keadilan dari sistem ini ditentukan oleh data. Misalnya, kalau orang tua dari mahasiswa baru adalah seorang pegawai, maka mereka harus memasukan semua data yang ada, sebagai penentu besarnya UKT yang akan didapat. Jadi besar kecilnya UKT, semuanya ditentukan oleh aplikasi yang dibuat. Kalau orang tua dari mahasiswa baru yang punya pendapatannya sekian, UKT-nya pun sekian. Semua sudah ada di sistemnya (Manguni Post).

Yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana sistem dari aplikasi ini menilai kalau data yang dimasukan adalah benar-benar semua data yang ada, data asli dan bukan rekayasa? Sebab, manusia saja bisa dibohongi lewat data yang disajika para pencari keuntungan, apalagi sistem dari aplikasi yang hanya menerima data tanpa melihat siapa yang memasukan data tersebut.