Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Berhayal Juga Boleh Toh?

Foto: Panji S. Datunsolang

Kita semua pasti pernah berangan-angan akan sesuatu hal. Tentang surga yang di kata FPI dan jamaah tabligh, bersungai susu dan bertabur bidadari beribu, misalnya. Atau tentang neraka yang selaluh digunakan kaum beragama untuk menakut-nakuti para abagan yang tidak menjalankan ajaran agama dengan taat dan khitmad (Clifford Geertz dalam buku The Religion of Java).

Berkhayal adalah salah satu cara kita untuk mengekspresikan dan membagun suatu tatanan dunia baru dalam benak kita yang bersifat fantasi, dan bukan tidak menutup kemungkinan itu terjadi. Misalnya seorang filsuf dari masa pencerahan abad 18 Marquis de Condorec perna meramalkan bahwa dalam jangka 200 tahun ke depan akan terjadi peningkatan produktivitas dalam bidang manufaktur dan agrikultur, perumahan dan makanan,peningkatan substansial dalam jumlah penduduk dan harapan hidup, serta kemajuan pesat di bidang teknologi pengobatan dan penghilangan penyakit (Kramnick 1995: 26-28).

Sekarang pun kita berada fase demikian, dan itu memang terjadi. Di mana kecepatan informasi dan teknologi melampaui kecepatan cayaha. Mulai dari revolusi teknologi digital, IoT (Internet of Things) kecerdasan artifisial (AI), algoritma, kloning, sampai pada belanja online yang buat kita jadi serba instan. Semua bagai memasuki mimpi ataupun khayalan manusia lampau.

Sebagaiman yang di muat dalam koran gaurdain akhir 2016. Di mana Stephen Hawking perna berkhayal dan membangun tatanan dunia baru di tengah binatang-binatang. Bahkan Stephen Hawking sampai menyarankan para pemimpin dunia agar bahu-membahu menyiapkan tempat tinggal di planet lain yang entah bagaimana caranya. Karena gelisah dengan ulah dan tingka dari umat manusia yang makin serahka tanpa di sadari mereka mempercepat kiamat bumi yang kita tinggali ini (Harian IndoProgres).

Saya jadi teringat sewaktu saya masi duduk di bangku sekolah dasar. Dimana para guru setiap kali mengajar dan mau mengakhiri pelajarannya, merka akan memberikan stimulus pengetahuan yang membangkitkan daya imajinasi kita. Seperti "kalau besar nanti kalian mau jadi apa?" Para murid pun dalam seketika mulai hanyut dalam khayal mereka masing-masing. Tak terkecuali saya. Mulai dari ingin jadi dokter, astronom, profesor, bahkan sampai ada yang berantem hanya karena memperebutkan untuk menjadi Power Rangger Merah. Dan para guru sadar akan kepemilikan tubuh muridnya. Tak melarang juga tak paksa. Malahan bertindak sebagai inspirator dalam memberikan stimulus pengetahuan.

Sampai sekarang pun, sebagai mahasiswa semester akhir, saya masih selalu membangun dunia fantasi. Tapi sebagian para dosen tidak produktif dalam memberikan stimulus pengetahuan. Malahan di bungkam dunia fantasi para mahasiswa dengan doktrin kulminasi yang berputar-putar pada: kalau jadi guru, kalau jadi PNS, kalau jadi pegawai bank, dan bahkan untuk berkhayal tingkat tinggi tidak boleh.

Model pendidikan yang perna dikumandangkan oleh ratu Helnina dalam politik kolonial yaitu Politik Etis yang di tulis oleh Van Deventer 1899 waktu itu, ternyata diwarisi oleh sebagian para dosen. Para mahasiswa dibentuk untuk diproyeksikan sebagai alat produksi. Akibatnya sebagian mahasiswa terlalu tegang dan kaku dalam menghadapi fenomena sosial.

Stephen Hawking saja punya mimpi untuk tinggal di planet lain. Dan mimpi itu terwujut. Kini Stephen Hawking sudah tidak lagi di bumi. Stephen sudah berada di planet lain yang entah di mana planet itu. Saya pribadi cukup dengan berkhayal agar memiliki cewe yang bisa nyanyi sambil main gitar saja. Boleh toh?

Skali-skali dengar lagunya sahabat Aril "khayalan tingkat tinggi".


Penulis: Panji S. Datunsolang