Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

07-15 ; Aku dan Kebijaksanaan

Foto: Zulkifli Otoluwa

Bulan tujuh hari ke lima belas. Hari dimana menit dan detik terlewati begitu saja tanpa makna dan puisi. Tak ada kata-kata, meskipun di luar sana hembusan angin sedang berkumpul, sembari bernyanyi penuh keceriaan. Namun masih saja jari-jemari terdiam dan membeku bersama tinta-tinta kehidupan.

Tak ada tarian pena, meskipun telah memusatkan rotasi akal pada porosnya, berharap geraknya akan terhenti pada titik kesadaran untuk menemukan ide murni sebagai simpul pikiran, namun percuma saja, tak ada kata sempurna dari jejak-jejak aksara selama kisah ini dimuat dalam buku semesta.

Sejak dua puluh delapan minggu setelah pembuahan, ketika masih berada dalam selimut empuk, sampai pada bulan ke tujuh di tahun sembilan empat, tepatnya pada hari ke lima belas disebuah desa kecil yang merupakan pinggiran pantai sebelah utara. Terlahir dari keluarga dalam suka mulut tertawa, dalam duka mata berkaca. Hidup sederhana, sesederhana embun. Bening, dingin, serta penuh kesejukan.

Hidup penuh kesejukan selama dua puluh lima tahun, namun masih bingung mengenal diri. Mencari jawaban pun tak kunjung pasti, padahal jauh sudah kaki melangkah, namun resah hati bertambah parah. Sampai pada suatu malam, akhirnya Kebijaksanaan berkunjung kepadaku. Ia memandangku dan berkata:

"Aku mendengar semua kegelisahanmu; maka aku datang untuk menghiburmu. Kalau engkau mau membuka hatimu, maka akan kuisi dengan cahaya. Jadi bertanyalah, dan akan kuperlihatkan kebenaran dari pertanyaanmu."

Secara spontan, aku pun langsung bertanya: "Bagaimana aku mencari tahu siapa diriku?"

Dengan posisi merenung, Kebijaksanaan pun menjawab pertanyaanku: "Kau tahu bahwa engkau adalah manusia, maka sucikanlah dirimu untuk menghadap sang Ilahi. Bukan melihat dunia dengan mata Tuhan. Mempelajari apa yang ada di alam boleh saja, namun ingin menguasai rahasia alam baka melalui pikiran manusia adalah kesia-siaan. Sesungguhnya dunia yang bergerak bersamamu adalah hatimu, dan hatimu adalah dunia itu sendiri."

Kebijaksanaan pun menghampiri dan meletakan tangannya pada bahu kananku sambil berkata: "Kau adalah sebagian dari manusia yang telah berjanji kepada Ilahi untuk bertahan dalam sukacita hidup melalui dukacita, dan untuk memperoleh pengetahuan dari ketidaktahuan."

Mendengar jawaban dari Kebijaksanaan, aku pun tersadar. Sadar bahwa hidup adalah bergerak maju menuju kesempurnaan jiwa. Bergerak demi masa depan, demi kesejahteraan, demi kebahagian, dan demi Tuhan, aku akan terus berjuang.


Penulis: Zulkifli Otoluwa