Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Konsep Ilmu dan Kebenaran Dalam Pemikiran Al-Ghazali


Tokoh terbesar dalam sejarah pemikiran Islam dan reaksi dalam Neo Platonisme adalah Al-Ghazali, seorang ahli hukum, teologi dan filosof serta sufi dilahirkan di Khurasan pada tahun 1058 M. Beliau menguasai ilmu-ilmu pada zamannya dan guru yang paling besar pengaruhnya Juwaini, seorang teolog As’ariyah yang terkemuka, meskipun akhirnya Al-Ghazali pada perkembangan terakhir memilih jalan sufi. 

Perkembangan intelektual dan spiritual Al-Ghazali secara garis besarnya dapat dibagi 3 fase, sebelum Uzlah, masa Uzlah, dan masa sesudah Uzlah. Masa Uzlah adalah masa ketika ia berusaha mencari jalan kebenaran dan pengetahuan yang pasti yang akhirnya membawa ke jalan sufi, yaitu jalan yang mengarah kepada kebenaran hakiki. Pengetahuan yang pasti itu menurut Al-Ghazali yaitu pengetahuan dimana obyek diketahui dalam suatu casra yang sama sekali tidak membuka peluang bagi masuknya keraguan. 

Dalam pemikiran Al-Ghazali, beliau tidak membedakan antara pengetahuan dan ilmu, keduanya adalah sama, beliau membagi pengetahuan atau ilmu itu menjadi 2 bagian, ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai produk. Ilmu sebagai proses dibagi menjadi 3 yaitu ilmu-ilmu yang memiliki rasio atau aqliyah, ilmu-ilmu yang melalui pengalaman yaitu hissiyah dan ilmu-ilmu yang tidak melalui aqliyah dan hissiyah yaitu ladunni melalui pancaran nur Ilahi dengan hati yang bersih. Sedangkan ilmu sebagaui produk berhubungan dengan kebenaran atau teori kebenaran, yaitu batiniyah, kalam, filsafat, dan sufi. 

Dalam pemikiran Al-Ghazali, konsep kebenaran membedakan dengan para filosof dan mutakallimin yang mengatakan kebenaran itu model koherensi yaitu kebenaran rasional atau bukan kebenaran pragmatik, tapi menurut Al-Ghazali kebenaran yang dihayati melalui jalan sufi yang sifatnya irasional, kebenaran itu adalah kebenaran kenabian yang tidak dan bisa diungkap dengan kata-kata tapi dengan penghayatan. Kebenaran kenabian adalah lebih tinggi dan bisa melihat rahasia-rahasia lainnya yang tidak dapat dilihat oleh akal dan panca indra. 

Meskipun Al-Ghazali menempuh jalan sufi dan mengakui bahwa jalan sufi itu jalan yang terbaik untuk mencari pengetahuan dan kebenaran yang beliau inginkan. Namun pada sisi lain terhadap ajaran tasawuf yang berkembang dan masanya, Al-Ghazali mengkritik karena tasawuf atau sufi telah jauh menyimpang dari ajaran Islam. Para sufi merasa dirinya sudah dekat dengan Tuhan, menganggap syariah dan mitos keagamaan tidak perlu. Karena itu, konsep Al-Ghazali sifatnya personal bahwa hubungan khalik dan makhluk adalah tidak pernah menyatu hanya kedekatan makhluk dan kholiqnya karena ketakwaan.


Oleh: Wesilah (2009).