Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Krisis Akal Sehat Berakibat Hidup Dalam Kesalahan Berfikir Akut

Foto: An Tinamonga
Apalah artinya menjadi manusia, ketika kita tak lagi mampu berpikir dan bertindak dengan menggunakan akal sehat kita? Di antara manusia, terdapat orang-orang yang tidak menghargai akalnya, sehingga ada yang malas untuk mengasah otaknya dengan hal-hal yang berguna bagi dirinya maupun orang lain, ada yang lebih memilih mengikuti hawa nafsu bejatnya daripada akal mulianya, ada yang dengan sengaja membuat akal sehatnya hilang secara paksa.

Akal sehat kita dirampas oleh situasi, dan membuatnya tumpul, bahkan mungkin lenyap. Ketika akal sehat hilang, maka krisis-krisis lainnya pun tampil di depan mata, mulai dari krisis ekonomi, krisis moral politik, sampai dengan krisis kepribadian. Hidup bersama maupun hidup pribadi pun akan selalu berada di ambang kehancuran.

"Para perampas akal sehat." Yang pertama adalah pendapat umum. Seringkali, pendapat umum itu mengaburkan kita dari kenyataan, dan memasung kemampuan kita untuk berpikir mandiri. Pendapat umum itu seringkali tertuang dalam kata berikut: “katanya?”, “kata orang”, atau “banyak orang bilang.”

Ketika orang tak mampu mengambil jarak dari pendapat umum, maka ia akan terjebak pada “apa kata orang” dan kehilangan kemampuan untuk menggunakan akal sehatnya secara kritis dan mandiri.

Akal sehat kita juga sering dirampas oleh prasangka, terutama prasangka kultural terhadap orang lain atau hal lain yang lahir dari kultur yang berbeda dengan kultur kita. Musuh akal sehat ini akan menggiring kita pada setidaknya tiga hal jelek. Yang pertama, kita akan terus hidup dalam kecemasan serta ketakutan, dan tak mampu melangkah untuk mengambil keputusan-keputusan penting dan berani dalam hidup kita.

Ke-dua, kita akan diterkam dan dijajah oleh tradisi, pengalaman masa lalu, apa kata orang, dan prasangka yang tak pernah kita kaji lebih jauh. Ketika orang terus diterkam kecemasan dan ketakutan, maka ia hidup dalam penderitaan, walaupun penderitaan itu seringkali tersembunyi dari mata masyarakat. Ke-tiga, kita juga akan hidup dalam kesalahan berpikir yang akut, karena akal sehat kita sudah lenyap.

Kesalahan berpikir menghasilkan kesalahan analisis, dan akan menggiring kita pada kesalahan bertindak dan kesalahan pengambilan keputusan. Ini semua tentunya akan membawa kita pada beragam krisis yang tidak saja menyiksa kita, tetapi juga menyiksa orang lain, terutama jika keputusan dan tindakan kita memiliki dampak luas.

Tidak heran, kita lebih melihat tindakan emosional ketimbang tindakan yang didasari akal sehat. Sudah banyak orang yang menjadikan emosinya sebagai landasan tindakan mengalahkan akal sehat. Mereka yang berkata atau bertindak hanya berdasarkan perasaan. Sayangnya: mereka merasa sudah berpikir, padahal hanya dengan perasaan saja.

Kemudian mereka berpikir tetapi mengikuti atau membenarkan perasaan tersebut. Orang seperti ini, meskipun dia akhirnya berpikir, tetapi hanya mengikuti komando perasaan, bukan akal. Saat akal tidak menjadi komando, maka hawa nafsu yang memegang komando dan ini adalah bahaya karena hidup kita mengikuti hawa nafsu.

Berpikirlah, gunakan akal Anda sebelum berkata dan sebelum bertindak. Jangan reaktif, tetapi jadilah proaktif. Selalu ada waktu untuk berpikir. Hatilah-hatilah apakah tindakan Anda itu karena hawa nafsu atau dari kejernihan akal pikiran.

a-Ragib al-Isfhani dalam bukunya yang berjudul Ad-Dzari’ah ila Makarim al-Syariah. Selanjutnya beliau mengatakan, tanpa akal maka agama ini tidak akan langgeng dan tanpa agama, maka akal akan kebingungan. Oleh karena itu Allah menyebutnya cahaya diatas cahaya (QS. An Nur: 35).

Imam Ali as berkata, “Perbendaharaan manusia yang paling berhaga adalah akal yang dimilikinya. Ketika manusia jatuh hina, ia memuliakannya; ketika manusia terjatuh, ia mengangkatnya, dan ketika manusia tersesat, ia memberikan manusia petunjuk, dan ketika manusia berbicara, ia mengukuhkannya.”


Penulis: An Tinamonga