Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Penolakan Kopi Gayo Di Eropa: Ketua APFI Menduga Adanya Perang Dagang yang Sedang Dimainkan

PlayStiker.id - Kopi Gayo merupakan salah satu varietas kopi kelas premium yang banyak diminati oleh penikmatnya. Memiliki aroma dan rasa khas yang sudah diakui oleh penikmat kopi baik dari dalam negeri hingga ke luar negeri.

Kopi Arabica Gayo dibudidayakan di Aceh, tepatnya di wilayah dataran tinggi Tanah Gayo, di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah dan sebagian kecil wilayah Gayo Lues. Produksi kopi yang dihasilkan dari tanah ini merupakan yang terbesar di Asia dan menjadi sentra bisnis yang menguntungkan bagi sebagian masyarakat Gayo dan telah menjadi tanaman kopi yang mumpuni dan berkualitas.


Namun saat ini, kopi Gayo tengah menjadi sorotan akibat menjadi topik pembicaraan di wilayah Eropa. Salah satu perusahaan ekspor mengabarkan adanya pembatalan kontrak oleh calon pembeli asal Eropa yaitu Jerman, Inggris dan Perancis di karenakan adanya laporan dari hasil penelitian laboratorium internasional yang mengatakan bahwa kopi arabika gayo telah terkontaminasi serta mengandung zat kimia jenis glyphosate, yang berasal dari obat semprot racun rumput.

Menurut Ketua Asosiasi Produser Fairtrade Indonesia (APFI), Armiadi menjelaskan, selama ini kopi gayo selalu menjadi idola pasar dunia karena statusnya sebagai komoditi organik, selain cita rasanya yang spesial. Karena keunggulan itu, kata Armiadi, harga jual kopi gayo di pasar dunia selama ini juga selalu tinggi di atas rata-rata harga kopi dunia.

Perbandingannya, kata dia, harga kopi dunia saat ini adalah US$2,8 atau setara Rp39.000 per kilogram untuk kopi biji hijau, sedangkan kopi Gayo berada diharga lima sampai US$5,5 per kilogram untuk kopi biji hijau.

"Pertama karena dia organik, kedua karena budidayanya ramah lingkungan, ketiga karena cita rasanya yang spesial berbeda dari negara lain. Tiga komponen ini membuat harganya mahal. Tapi sekarang sudah diragukan," kata Armiadi.

Armiadi menduga ada perang dagang bagi komuditas andalan Gayo tersebut yang tengah dimainkan.

"Kenapa saya sebut begitu, karena saat ini harga kopi kita di dunia tidak bisa diturunkan alias tetap tinggi," terang Armiadi dilansir dari LintasGAYO, pada Kamis 10 Oktober 2019.

Dijelaskan, saat ini harga kopi arabika Gayo di tingkat ekspor berkisar di harga 75-80 ribu Rupiah perkilo. Hal ini berbanding terbalik dengan harga kopi konvensional sebut saja Brazil, harganya jauh lebih rendah diangka 35 ribu Rupiah perkilonya.

Ia pun tak menyalahkan hasil uji lab Intetnational yang dilakukan oleh pembeli dari Inggris, Jerman dan Prancis dimana negara tersebut menolak sample yang disodorkan oleh pengusaha kopi Gayo lantaran terpapar zat kimia glyphosate.

“Begini ya, semua negara memiliki aturan terkait ambang batas zat kimia dari suatu komoditi yang diekspor ke negara tersebut. Ambang batas penggunaan zat kimia di Eropa itu rata-rata 0,01 persen,” terangnya.

Lain itu kata Armiadi lagi, zat glyphosate itu rata-rata dihasilkan dari herbisida pembasmi rumput. Herbisida ini banyak dikeluarkan oleh Masinton di Amerika dan banyak dipakai di Indonesia. Sedangkan di Eropa mereka tidak memakai itu.

“Ya pasti mereka komplin, mereka beli kopi kita mahal, tapi kok teracuni gitu. Akhirnya harga kopi diturunkan. Ini yang saya sebut perang dagang,” katanya Armiadi.

Meski diduga ada perang dagang terhadap kopi Gayo, ia berharap hal ini menjadi pemantik semangat bagi petani di Gayo menjaga kualitas keorganikan dari kopi Gayo itu sendiri.

“Saya rasa ini positif ya. Dengan adanya permasalah ini, kita harus cepat sadar bahwa penggunaan herbisida hanya akan merugikan kita petani kopi Gayo. Harus kita kurangi dan lebih giat lagi mengolah lahan kopi kita dengan cara-cara organik,” tandasnya.