Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tiga Pandangan Filsafat Mengenai Kematian


Dalam filsafat, terdapat tiga pandangan mengenai kematian, terutama mengenai arti kematian dan relasinya dengan arti kehidupan.

Menurut Martin Heidegger, tutup usia sebaiknya tidak hanya sekedar diartikan sebagai berhentinya kehidupan, atau dalam proses menuju akhir. Proses kematian adalah cara berada diterima manusia segera setelah kelahirannya. Kematian bukan hanya merupakan urusan dimasa mendatang, tetapi selalu hadir pada setiap saat sekarang. Maka saat sekarang, harus difahami sebagai satu titik dalam proses kematian.

Hanya dalam terang kematian yang mengantar manusia ke kefanaan bahwa hidup manusia mendapat kepenuhannya. Karena itu, bagi Heidegger yang adalah bahwa kita harus menghadapi kematian sebagai suatu kemungkinan yang nyata. Manusia harus secara sadar dan dalam keputusan pribadi mempersiapkan diri sebaik-baiknya bagi kematian. Dus, manusia akan menemukan dirinya yang utuh dan nyata.

Heidegger menampakkan sikap yang begitu prasojo dan rasional di dalam memaknai kematian. Tampak jelas bahwa filsafatnya mengesampingkan realitas bahwa kematian sendiri didalam kehidupan pada umumnya tidak terlalu mudah untuk melihatnya dengan begitu tenang sebagaimana disarankan oleh Heidegger.


Jean Paul Sartre: Kematian Bersifat Absurd
Berbeda dari Heidegger, Sartre melihat kehidupan tidak bertolak dari kematian, melainkan justru bertolak dari kehidupan. Sartre dengan keras menolak pandangan Heidegger yang mengatakan bahwa hidup merupakan persiapan menuju kematian. Baginya kematian tidak dapat begitu saja dianggap sebagai penyempurnaan kehidupan manusia.

Bagi Sartre, kematian adalah suatu kenyataan yang menimpa manusia dengan tiba-tiba dan buta. Sehingga kita tidak akan pernah mampu memahami dan mengontrolnya. Kematian seolah menjadi peristiwa menyakitkan yang datangnya mendadak dan sangat tidak dingingkan, tidak bisa diperhitungkan bahkan bagi seseorang yang telah menantikannya seperti suatu hal yang sudah pasti.

Kedatangan kematian tidak bisa diprediksikan dan dengan kejam menerobos menusuk kehidupan manusia selagi manusia sendiri sedang merencanakan hidup selanjutnya dan berusaha mewujudkan kemungkinan-kemungkinannya. Jelas sekali bahwa kematian tidak membantu, tetapi justru menggagalkan usaha manusai untuk mencapai keutuhannya.


Karl Jaspers: Kematian sebagai Pemenuhan
Bagi Jaspers, manusia terus menerus terlibat di dalam pelbagai krisis yang membawanya kepada situasi perbatasan di dalam pengalaman yang menakutkan dari kenyataan perjuangan, penderitaan dan dosa, yang tak dapat dihindari. Manusia selalu diancam oleh pengalaman akan nasib yang tak dapat diubah, terutama di dalam kematian dari orang tercinta atau di dalam kesadaran akan kematiannya sendiri.

Di mana-mana manusia diancam oleh kemacetan, habisnya pengharapan, keputusasaan yang mencekam. Adakah jalan keluar untuk semuanya ini? Satu-satunya jalan keluar yang terbuka, menurut Jaspers, hanyalah bila orang menerima keadaan ini dan mengakui dengan sepenuh hati bahkan menyetujui kematian yang terjadi padanya. Lebeih jauh Jaspers mengungkapkan, bahwa :

Jika hidup diabsolutkan, tidak ada lagi kesadaran mengenai yang transenden, tetapi hanya pemahaman mengenai suatu eksistensi yang diperpanjang sampai tak terbatas. Sebaliknya, bilakematian diabsolutkan, yang transenden menjadi terselubung,sebab semua yang tinggal hanyalah kebinasaan. Tetapi jika hidup dan mati menjadi indentik yang bagi kita absurd satu-satunya usaha untuk memikirkannya ialah dengan melibatkan suatu proses transenden: kematian tidaklah seperti apa yang kelihatan didalam benda yang tidak hidup dan mati atau di dalam jenasah yang tidak hiduplagi; hidupbukanlah sesuatu yang kelihatan sebagai tanpa kehidupan. Di dalam yang transenden kematian merupakan pemenuhan dari adanya sebagai hidup yang telah menjadi satu dengan ada.