Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengelola Energi Tanpa Kemudi ; Visi Energi Indonesia a'la Liberal

Foto: Irawan Rahman Jr
Visi energi Indonesia mengidap rabun jauh karena liberalisasi energi.

Listrik byar-pet. Impor dan subsidi minyak membengkak. Program konversi gas tertunda. Kemiskinan energi. Apa yang harus dilakukan?

Dalam 15 tahun terakhir, pemerintah sering mengeluh tentang tingginya subsidi energi, baik bahan bakar maupun listrik. Terlalu sering mengeluh, sehingga muncul citra umum bahwa rakyat Indonesia boros energi dan karenanya harus berhemat menggunakan energi.

Citra itu keliru. Dibandingkan dengan negara lain, sebenarnya rakyat indonesia menderita "kemiskinan energi".

Konsumsi listrik dan energi per kapita Indonesia termasuk yang paling rendah di Asia. Penggunaan listrik per kapita kita kurang dari sepersepuluh konsumsi listrik rata-rata orang Singapura. Konsumsi energi per kapita Indonesia kurang dari sepertiga konsumsi energi rata-rata orang Malaysia.

Pemakaian listrik dan konsumsi energi menentukan tingkat kemakmuran bangsa. Pada kenyataannya, semua aktivitas ekonomi dan sosial membutuhkan energi. Makin besar konsumsi energi makin makmur sebuah negeri.

"Kemiskinan energi" Indonesia mencerminkan kemiskinan ekonomi rata-rata rakyatnya. Menurut Survei Badan Energi Internasional 2011, Indonesia ada pada peringkat 33 dalam Indeks Pembangunan Energi.

Indeks ini merupakan salah satu tolok ukur kemiskinan energi (energy poverty). Indonesia ada dibawah peringkat Malaysia, Thailand, Filipina dan Vietnam.

Dalam hal kelistrikan, Indonesia punya skor 0,60. Artinya sekitar 40 persen (90 juta) Penduduk Indonesia Belum Memperoleh Aliran Listrik. Tingkat elektrivikasi Indonesia bahkan di bawah Sri Lanka.

Mengupayakan kemakmuran rakyat Indonesia mensyaratkan peningkatan ketersediaan energi yang terjangkau, baik dalam distribusi maupun harga. Namun, upaya meningkatkan konsumsi energi terbentur oleh harga yang terus naik, sebagian akibat pencabutan subsidi serta distribusi yang tidak merata.

Bahkan jika bisa membeli dengan harga mahal, banyak penduduk daerah di luar Jawa mengelih kurangnya pasokan energi, termasuk di provinsi yang kaya energi seperti Kalimantan Timur.

Indonesia bukan negeri yang amat kaya cadangan energi. Cadangan batu bara, gas dan minyak Indonesia rata-rata kurang dari 1% cadangan dunia. Namun, sumber energi kita cukup beragam. Dalam beberapa jenis, seperti sumber energi panas bumi, Indonesia bahkan punya cukup melimpah.

Itu sebabnya, menurut Dewan Energi Dunia, Indonesia memiliki peringkat keamanan pasokan energi cukup bagus. Pada 2013 peringkat ketahanan energi Indonesia 17, lebih tinggi dari negara ASEAN manapun. Namun, ironisnya, peringkat keberlanjutan pasokan energi (sustainability index) Indonesia lebih rendah dari Malaysia, Singapura dan Filipina.

Indeks Keberlanjutan Energi mengukur kemampuan sebuah negara dalam menyelenggarakan kebijakan energi berkelanjutan kepada rakyat melalu tiga faktor:
  1. Keamanan pasokan energi.
  2. Pemerataan dan efisiensi energi.
  3. Upaya menyediakan energi yang ramah lingkungan.
Masalahnya bukan pada pasokan energi, tapi pada strategi energi yang salah.

Meski kita hanya memiliki sedikit cadangan energi fosil, sebagian besar gas dan batu bara yang kita produksi justru diekspor, sehingga kebutuhan domestik kurang terlayani.

Produksi gas dan batu bara kita meningkat tajam dalam satu dasawarsa terakhir. Namun, lebih dari separo gas (51%) dan tiga perempat batu bara (74%) langsung kita ekspor. Indonesia adalah eksportir batu bara terbesar di dunia, serta eksportir gas terbesar ke empat setelah Qatar, Malaysia dan Australia.

Energi adalah komoditas strategis dan tidak bersifat elastis terhadap harga. Kebutuhan akan energi tetap akan meningkat meski harganya makin mahal. Yang dirugikan adalah kelompok ekonomi menengah ke bawah. Mereka yang sudah miskin energi, makin miskin ketika harga energi dan harga barang jasa terkait terus meningkat. Kesenjangan dan kemiskinan energi makin menjadi-jadi.

Pemerintah memiliki program bagus berupa konversi energi, juga pengembangan energi terbarukan seperti geotermal, hidro dan biodiesel. Namun, itu hanya diatas kertas. Implemenyasinya tersendat dan kurang serius.

Undang-Undang Migas dinilai terlalu liberal dan memberikan peran terlalu besar pada sektor swasta.

Perubahan reorientasi energi menuntut ketersediaan dan publik yang besar dan kendali lebih kuat di tangan negara.

Pendulum harus digeser dari orientasi pasar ke orientasi publik (negara). Terutama berkaitan dengan aksesibilitas dan keterjangkauan harga energi secara merata bagi rakyat.

Pembangunan Indonesia selama ini, termasuk soal energi, lebih banyak memainkan peran menjadi pemasok bahan baku untuk meladeni rezim pasar bebas Asia dan Global. Praktiknya, melakukan eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan akumulasi kapital korporasi raksasa dunia.

Dalam teori "Geofrafi Ekonomi Baru" yang dilansir Paul Krugman, korporasi besar dewasa ini berupaya terus menerus memantapkan investasi dan memperdalam integrasi ekonomi di Asia dan dunia. Caranya, melakukan aglomerasi : reorganisasi spasial dengan membentuk ulang geografi ekonomi baru untuk memperlancar interaksi aliran kapital, barang dan tenaga kerja demi kelancaran aktivitas produksi-konsumsi.

Keunggulan komparatif geografi sebuah negara menjadi kata kunci dalam reorganisasi kapital.

Korporasi global telah menawarkan mimpi indah kepada Indonesia dan sumber daya alamnya dengan menjulukinya sebagai "Asian Factory". Indonesia pun disanjung sebagai pusat produksi penting di Asia untuk membungkus dalih utama pengerukan sumber daya alam dan rusaknya lingkungan hidup.

Selama ini pembangunan Indonesia dalam banyak hal terlalu berorientasi pada perburuan kapital dan melayani selera pasar daripada kepentingan nasional dan warganya.

Joseph E. Stiglitz sudah memperingatkan dunia, bahwa pertumbuhan tinggi saja tidak memancarkan kualitas kesejahteraan sebuah negara, dan ukuran kesejahteraan yang biasa digunakan seringkali bukanlah kesejahteraan itu sendiri.

Pemerataan yang berbasis pembangunan modal sosial disebut sebagai kunci penting pembangunan yang berkelanjutan. Sebuah desain pembangunan yang berorientasai tak hanya pemenuhan akumulasi kapital, tetapi juga kualitas hidup, modal sosial, keragaman hayati dan lingkungan yang lestari, serta solidaritas sosial. Produksi oleh massa bukan hanya produksi massal.

Sudah saatnya pemerintah memperkuat kapasitas dan peran negara untuk melindungi hajat hidup warganya. Bukan hanya soal kecukupan kapital, melainkan juga kelestarian lingkungan.


Penulis: Irawan Rahman Jr (Ketua Lembaga Kajian Kebijakan Publik dan Otonomi Daerah PB KPMIBU).