Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Revolusi Hijau; Pembangunan Pertanian Rakyat atau Pertanian Korporasi?

Foto: Irawan Rahman
Ketahanan pangan bukan hanya soal pertanian, melainkan pula politik. Tak heran saat Konferensi Tingkat Menteri Ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia di Bali, akhir 2013 India dan sejumlah negara lain berang soal subsidi pertanian.

"Cadangan pangan tidak bisa dinegosiasikan dalam forum WTO di Bali, karena menyangkut kepentingan negara memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Ini berlaku untuk banyak negara lain, bukan hanya India," kata Anand Sharma, Menteri Perdagangan dan Perindustrian India.

India memprotes keras usaha Amerika Serikat dan beberapa negara maju yang mencoba membatasi subsidi petani bagi negara berkembang dan mengatur batasan waktu dalam memberikan subsidi. Subsidi cadangan pangan, menurut India, harus diberikan negara, supaya masyarakat miskin mendapatkan jaminan atas pangan.

Negara maju keberatan atas usulan peningkatan presentase cadangan pangan dan durasi pemberian subsidi yang tak terbatas itu, karena takut cadangan pangan merembes ke pasar dunia sehingga mendistorsi harga. Namun, dunia tahu, di saat yang sama, subsidi negara maju pada petani mereka sangat besar. Standar ganda ini yang membuat India mencak-mencak. Sejak revolusi hijau yang penuh dengan mimpi-mimpi kosong itu, sektor pangan Indonesia terus merosot.

Yunita Winarto, antropolog Universitas Indonesia yang meneliti gerakan petani di Indonesia, mengatakan, paham revolusi hijau yang sebenarnya sudah gagal masih melekat dalam berbagai program pangan pemerintah hingga kini.

Pemerintah masih terobsesi menggenjot produksi dan ketersediaan pangan dari mana pun datangnya. Bersama perusahaan seperti Monsanto, Kellog, Cargill dan Heinz. Pemerintah terus mendikte petani dengan benih, pupuk, pestisida, dan teknologi yang sebenarnya membunuh keanekaragaman benih dan kedaulatan petani atas pangan. 

Petani hidup tergantung dari luar dirinya, mulai hulu hingga hilir pertanian. Karena itu, meski swasembada dan ketersediaan pangan pemerintah tercapai, petani tetap hidup miskin; tergantung pada benih, pupuk dan teknologi milik asing. Kemiskinan itu juga berkonsekuensi hilangnya akses lahan dan kerusakan lingkungan.

Populasi global saat ini mencapai 7,2 miliar jiwa. Akan mencapai 9,6 miliar jiwa pada 2050. Peningkatan tersebut didominasi masyarakat kawasan Asia-Pasifik. Peningkatan jumlah penduduk akan menguras sumber daya alam lebih banyak seperti pangan, energi dan air. Kebutuhan pangan dunia terus meningkat, tapi disisi lain ketersediaan lahan pertanian terus menyempit akibat alih fungsi lahan untuk pembangunan sektor lain, seperti pemukiman, industri dan infrastruktur.

Dwi Andreas Santosa, Ketua Umum Bank Benih Tani Indonesia dan Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, mengatakan, dari 28,55 juta penduduk miskin Indonesia, 62,8 persen adalah petani. Dalam 10 tahun terakhir rata-rata 500.000 keluarga tani harus keluar dari lahannya dan menjadi penyusun masyarakat miskin kota. 

Lahan pertanian pangan yang menjadi gantungan hidup 91,91 juta jiwa selama 28 tahun terakhir ini hanya bertambah dari 7,77 hektare menjadi 8 juta hektare atau 2,96 persen. Sebaliknya, lahan perkebunan yang dimiliki sedikit orang meningkat dari 8,77 juta hektare menjadi 21,41 juta hektare atau 144 persen.

Profesi petani menjadi profesi kutukan. Identik dengan kemiskinan dan penderitaan yang sebagian besar masalahnya bersifat struktural : berada diluar diri petani.


Apa yang harus dilakukan?

1. Mari belajar dari India.

India memiliki dua organisasi gerakan sosial petani seperti Nevdanya dan Deccan Dovelopment Society yang berusia lebih dari 30 tahun. Keduanya gerakan yang sangat kuat pada petani akar rumput India, diperjuangkan oleh salah satu tokohnya Vandana Shiva.

Mereka memperjuangkan kemandirian atas benih, sumberdaya alam, produksi pangan, pasar, hingga media. Ketika korporasi dan pemerintah menawarkan ketergantungan benih dan pasar, mereka dengan lantang menolak apa yang mereka sebut monokulturalisasi dan Macdonald-isasi sistem hidup.

Kedua gerakan itu memilih mengembangkan benih yang selama turun-temurun hidup di India, membangun sendiri teknologi yang ramah lingkungan dan mendistribuskan langsung hasil pangan termasuk memasarkannya. 

Masalah petani dapat lebih muda diselesaikan jika petani mengorganisasikan diri dengan cara membentuk organisasi sosial gerakan petani. Kunci utama gerakan sosial itu terletak pada pemuliaan kembali benih rakyat. Revolusi hijau dan kapitalisasi komoditas monokultur adalah lawan dari perjuangan mereka.

Nevdanya dan Deccan mengelola ratusan ribu benih, memadukan pendidikan politik, kesadaran kelas, lingkungan, tanah, air hingga gender. Keduanya adalah gerakan protes terhadap revolusi hijau. Bagi mereka kapitalisme tidak peduli pada kebutuhan pangan manusia. Manusia harus bersaing dengan biofuel dan makanan hewan hanya karena kapitalisme merasa 90 persen jagung dunia lebih laku jika tidak dimakan manusia.

Bagi India, Indonesia dan negara lain, revolusi keanekaragaman benih adalah kehidupan. 60 persen keberhasilan atau kegagalan usaha tani di tentukan oleh benih.

Di Indonesia benih tidak lagi ditangan petani kecil dan penduduk lokal. Sekitar 78 persen pasar benih dikuasai perusahaan asing dan 2 perusahaan asing berhasil menguasai 67 persen pasar benih di Indonesia. Petani kecil Indonesia  sejak tahun 1960-an mengembangkan 1,9 juta varietas tanaman, sedangkan industri benih swasta hanya 72.500 varietas tanaman.

Pemuliaan tanaman melalui persilangan sangat membutuhkan input sains dari universitas atau lembaga riset yang ternyata perannya sangat lemah kepada petani. Pemuliaan tanaman dilembaga-lembaga riset publik bahkan hanya menghasilkan 8.000 varietas baru.

Kita perlu memuji varietas padi IF8 (IF = Indonesian Farmer) yang cukup berhasil dikembangkan petani kecil di Karanganyar, Jawa Tengah, anggota Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia. Mereka menolak benih, pupuk  dan pestisida dari pemerintah dan memilih mengembangkan sendiri pertanian mereka.

Gerakan itu menghasilkan tingkat produksi 13,76 ton gabah kering per hektare pada April 2014. Sedangkan varietas unggul dari pemerintah atau perusahaan yang ditanam berdampingan hanya menghasilkan tingkat produksi 5-7 ton per hektare.

Kedaulatan pangan hanya bisa diwujudkan jika Indonesia melaksanakan reformasi agraria melalui redistribusi dan akses lahan untuk petani kecil dan tuna-tanah, meningkatkan hak dan kedaulatan petani atas benih, input pertanian, penanganan setelah panen dan pengolahan produk pertanian. Bagi petani, benih tidak hanya penting dalam konteks ekonomi, tapi juga pertahanan budaya.


2. Membangun Pertanian Berbasis Kerakyatan bukan Pertanian Berbasis Korporasi

Aktivis Pertanian, Vandana Shiva menawarkan jalan baru untuk membangun pertanian berbasis kerakyatan, diantaranya: Memperkuat ekonomi lokal, memberdayakan komunitas dan mempromosikan keragaman pangan dan hayati.

Semuanya bermula dengan mengubah cara pandang kita tentang pembangunan pertanian : lebih berbasis kebutuhan lokal, berjaringan dan bermitra, tidak terobsesi pertanian skala raksasa yang pada akhirnya tidak lestari, mengembangkan family farming bukan corporate farming.

Saat ini negara dan pasar terus menyebarkan ilusi kelangkaan pangan, untuk membenarkan praktik pertanian monokultur berskala industri yang menghilangkan keanekaragaman pangan dan benih lokal. Jelas sekali ini menunjukkan ketahanan pangan bukan hanya soal pertanian, melainkan juga politik.  Ketika korporasi dan pemerintah menawarkan ketergantungan benih, perlu terus-menerus ada koreksi dan suara lantang menolak yang World Social Forum sebut sebagai gejala monokulturalisasi dan Macdonald-isasi sistem hidup.

Benih, tanah, air dan sumberdaya alam semakin disadari telah dimonopoli segelintir perusahaan. Padahal, air, benih, tanah dan sumberdaya alam seharusnya milik warga, bukan milik negara jika kemudian hanya diserahkan pada korporasi.

Para petani sudah lama tertinggal dalam laju pembangunan di negeri ini. Usia petani kian menua, 8,26 juta berusia 54 tahun ke atas dan usia 45-54 tahun berjumlah 6,5 juta orang.

Jumlah petani muda kian mengecil, profesi petani makin dijauhi di Indonesia karena identik dengan kemiskinan. Jelas negara harus melakukan tugasnya membela hak petani atas benih, pangan, tanah, air dan hutan yang sudah ada sejak jutaan tahun lalu dan harus tetap ada untuk jutaan tahun berikutnya.

Kedaulatan pangan bukan dicirikan oleh produksi massal dan keseragaman semata untuk melayani bisnis perusahaan raksasa, melainkan ketika keragaman pangan dan keragaman budaya lokal dipertahankan oleh negara.

Era revolusi hijau yang dicirikan pada model pembagunan pertanian korporasi serta penuh dengan mimpi-mimpi kosong itu semestinya sudah berakhir bersama rapuhnya nasib petani. Revolusi hijau yang di topang korporasi memang pernah mencetak swasembada pangan. Namun, seperti kita ketahui, meski swasembada beras terjadi, petani pada umumnya tetap miskin, sektor pangan Indonesia tetap rapuh dan sampai saat ini pun terus merosot bahkan mungkin menjadi bencana bagi kita semua.

Apakah pemerintah sebenarnya belajar dari apa yang sedang terjadi? Wallahu alam Bissawab.

Disadur dari Buku "Mengurai Persoalan Bangsa."


Penulis: Irawan Rahman