Mahasiswa : Agen Perubahan, Tanggung Jawab Sosial dan Realitas.
![]() |
Foto: Irawan Rahman |
Belum lagi posisi ekonomi kepentingan kelas mahasiswa yang sejak awalnya (sadar atau tidak) sangat ekonomistik, dari uang kuliah hingga ujian akhir yang tentu saja setelah lolos dari lubang kampus masuk kedalam sektor masyarakat dan mulai menebus pengeluaran dengan cara menghisap uang rakyat, sementara kondisi sosial dan politik lebih merupakan sebuah konsekuensi. Tapi, konsekuensi ini juga berpengaruh besar sebagai wujud dominasi sosial dalam hubungan dialektis.
Tekanan ekonomi jelas dapat mempengaruhi seseorang untuk mengenali kepentingan kelasnya atau bahkan dapat melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan kelasnya, sementara kepentingan kelasnya belum tentu disadarinya. Karena hal-hal itu, mahasiswa berpotensi mengalami pemutarbalikan kesadaran dan semakin tidak sadar akan tanggung jawab yang diembannya.
Bangsa yang nalar dasarnya kapitalis, yang lahir dalam bentuk pembangunan yang berakibat pada pengintegrasian ekonomi negara kedalam ekonomi dunia (globalisasi), pada prakteknya jauh dari apa yang di gambarkan. Ambil contoh: penyerahan harga produk pertanian dalam negeri terhadap mekanisme dan hukum pasar dunia membuat negara penganut globalisasi tak berkutik.
Mekanisme dan proses globalisasi yang di perjuangkan oleh aktor-aktor global melalui kesepakatan yang dibangun bersama lembaga donor internasional dan kemudian diakomodir melalui sejumlah "syarat-syarat" bantuan terhadap negara peminjam tentu saja hanya menguntungkan kelas tertentu.
Demi mengakomodir kepentingan kelas tertentu, melalui sejumlah kebijakan yang lahir dari para perumus yang terdiri dari para intelektual bangsa sendiri dan demi terjaminnya stabilitas, negara seperti menjadi kompeni, dan agama seakan dijadikan institusi sosial dibawah negara yang membuat kondisi rakyat semakin terpuruk.
Sebagai contoh: kinerja birokrasi dan hukum sebagai gambaran dari keberadaan "nation-state" menjadi lemah, saat jabatan-jabatan publik menjadi ajang negosiasi. Yang kemudian terjadi, kelas menengah dalam hal ini mahasiswa mengambil jalan diam atau membeo bahkan tidak peduli terhadap kebijakan pemerintah, atau terhadap keadaan yang ada sebagai usaha melarikan diri dari keterhimpitan ekonomi (saat kuliah) demi mendapatkan kelapangan ekonomi (setelah kuliah) seperti pada sejarah masa lalu.
Kondisi subjektif mahasiswa sebagai pemasok kesadaran kritis bagi masyarakat dipasung dibawah kebijakan dunia pendidikan yang tidak mendidik, dan kondisi objektif yang membawa kedalam jurang penderitaan yang lebih dalam melalui kata "kebijakan pemerintah".
Mahasiswa perlu melakukan penyadaran kritis masyarakat terhadap sistem dan struktur sosial yang saat ini membunuh kemanusiaan "dehumanisasi" dan ini tidak dapat dipungkiri.
Dehumanisasi terselenggara melalui penjinakkan yang halus, yang bersifat struktural dan sistemik. Artinya, kekerasan dehumanisasi tidak selalu berbentuk jelas dan mudah diketahui. Kemiskinan struktural misalnya, pada dasarnya adalah suatu bentuk kekerasan yang memerlukan analisa untuk menyadarinya.
Bahkan kekerasan sebagian besar terselenggara melalui proses hegemoni yakni cara pandang, cara berfikir, kebudayaan, bahkan "selera" golongan kelas tertentu yang mendominasi telah di pengaruhkan dan diterima oleh golongan kelas yang di dominasi. Dengan begitu, kegiatan sosial bukanlah arena netral dan apolitik. Kegiatan sosial tidak berada dalam ruang dan masa yang steril, tetapi merupakan kegiatan politik menghadapi sistem dan struktur yang hegemonik.
Pertanyaannya, apakah mahasiswa dalam hal ini sebagai aktivis sosial harus netral? Tidak memihak? Atau mengabdi demi kepentingan tertentu?
Dalam perspektif toeri sosial kritis yang menekankan aspek humanis, mahasiswa tidaklah hanya pada kepentingan golongan lemah atau tertindas, tetapi juga harus membangkitkan kesadaran kritis baik bagi yang tertindas maupun yang menindas, serta terhadap sistem dan struktur sosial yang tidak adil. Intelektual mahasiswa haruslah kritis terhadap realitas dan berpihak tegas ditingkatan praksis.
Penulis: Irawan Rahman