Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Logika Kekuasaan Tunggal

Foto: Rifaldi Rahalus
Penguasa di suatu negara tentu sangat besar pengaruhnya dalam alur perjalanan negara dan segala kebijakan didalamnya baik dari segi politik maupun hukum. Strategi yang dibagun oleh setiap penguasa guna melegalkan misinya pun beragam, bahkan tidak jauh berbeda dengan penguasa umumnya.

Melalui kekuasaannya, seorang penguasa akan menjadikan hal itu sebagai dasar untuk membuat keputusan apapun yang dihendaki, meskipun, langkah tersebut melampaui batas dan kaidah yang menyangkut tugas dan wewenang sebuah lembaga negara sekalipun. Maksud dari melampaui keputusan sebuah lembaga negara disini adalah bahwa ada interfensi penguasa didalamnya.

Dalam konteks negara, sering bahkan selalu saja terjadi yang demikian, termasuk di Indonesia. Bahwasanya, peran sebuh lembaga didalam negara yang seharusnya dijalankan secara profesional dan mandiri demi mengkokohkan status dan integritas lembaga tersebut tanpa ada interfensi pihak lain termasuk penguasa selama itu benar secara hukum dan berdasarkan fakta, maka hal itu seharusnya menjadi mutlak dan wajar. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak. Selain bisa dibeli, ketetapan hukum juga bisa diputuskan secara politis, hal ini hanya berlaku pada orang berpengaruh/berkuasa.

Di Indonesia, kita semua hendaknya diberikan ruang dalam menilai sebuah persoalan yang terjadi dilingkup sosial secara umum. Hal itu diakaui dalam sebuah kehidupan kita di alam demokrasi seperti di negara Indonesia. Sebagaimana kebijakan penguasa yang beragam, demikian asumsi publik dalam memberikan penilaian atas kebijakan yang dibuat oleh pengendali kekuasaan sebagai sikap dan reaksi sosial tentunya. Baik berupa dukungan, kritikan bahkan cercahan sekalipun.

Akhir-akhir ini, ada beberapa lembaga yang hendak mendapat sorotan publik, bisa disebutkan disini seperti DPR-RI. Ketika lembaga ini merencakan pergantian ketua, meskipun tidak sebanyak dan semarak kasus Ahok yang dibincangkan publik. Namun, Setya Novanto sebelum kembali dilantik yang kedua kalinya sebagai Top Leader senayan, sempat menimbulkan reaksi, baik yang pro maupun kontra. Baik di internal Partai Golkar maupun internal parlemen.

Selain itu, keberadaan TNI sebagai basis pertahanan negara pun marak dibincangkan menyusul aksi teroris di beberapa daerah hingga menjatuhkan korban jiwa, terakhir kasus bom di Tangeran Selatan, Rabu (21/12) yang juga diduga adalah ulah teroris. Tak hanya itu, Indonesia yang kini dibanjiri tenaga kerja asing asal China dan Tiongkok serta maraknya isu akan lahir kembali komunis (PKI), semakin menuntut sikap nasionalisme TNI serta keberadaannya. Panglima TNI Gatot Soebroto ikut resah, akibat banyak sekali desakan masyarakat Indonesia khususnya anti komunis agar stok pekerja asal China dan Tiongkok bisa disikapi serius oleh pemerintah. Atas dasar itu, hingga akhinya Panglima TNI menilai bahwa bangsa ini sedang dalam ancaman besar komunis.

Berikutnya adalah lembaga kepolisian (Polri). Dalam berbagai kasus berskala nasional yang tengah melanda Indonesia saat ini, terkadang integritas lembaga inipun dipertanyakan, terutama sikap Polri dalam menangani kasus Gubernur nonaktif Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Seharusnya, Polri tampil mandiri dalam menangani kasus Ahok baru-baru ini, karena kasus tersebut sudah jelas dan tergolong pidana. Akan tetapi, sebagaimana prosedur dan proses hukum di negeri ini, bahwa ada peran lembaga pengadilan guna menguji setiap tindakan yang berujung pidana untuk kemudian ditetapkan. Tentu berdasarkan bukti-bukti berupa data akurat dari sebuah perkara apakah pelaku sebagaimana Ahok terbukti bersalah atau tidak.

Kali ini, lembaga Pengadilan Negeri menjadi pusat sentral sorotan publik atas kasus Ahok pasca sidang perdana di Jakarta Utara pekan lalu. Jika sebelumnya Polri diperhadapkan dengan dua pilihan; antara instruksi pengendali kekuasaan dan tekanan masif yang adalah reaksi sosial (people power) melalui aksi 411 dan 212 oleh umat Islam karena merasa terhina, maka pengadilan pun demikian. Artinya bahwa, ada pertimbangan panjang dari pihak pengadilan sebelum menetapkan Ahok bersalah atau tidak meskipun sudah sangat jelas Ahok bersalah.

Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi (Amsik) menyebut akibat tekanan massa itu membuat jaksa penuntut umum kehilangan logika. "Tekanan massa itu pula jaksa kehilangan logika," ujar Nia Sjarifudin dari Amsik dalam keterangan pers yang diterima (Riau.com :20/12)

Tentu pula karena pihak pengadilan "takut" mengambil keputusan dengan cara menetapkan Ahok bersalah karena menista Al'quran (Almaidah:51), karena langkah tersebut akan berseberangan dengan keinginan penguasa. Karena, apabila keputusan pengadilan dengan penguasa berseberangan, maka akan menjadi ancaman besar bagi seorang Jaksa Agung. Pada saat yang sama, pihak pengadilan "pusing" karena jika Ahok dibebaskan dari kasus tersebut sudah pasti aksi jilid IV kembali digelar dan bukan mustahil suasana aksi tidak seperti aksi super damai 212 melainkan sebaliknya.

Artinya bahwa, Jaksa Agung harus menetapkan kasus ini sebagaimana yang diinginkan penguasa, dengan kata lain keputusan Jaksa adalah keputusan penguasa selama sebuah kasus ada unsur kepentingan penguasa saat ini. Ini samahalnya jika kucing ingin menerkam tikus tapi menunggu ijin dari anjing, karena anjing sebagai "penguasa tunggal" atas kucing dan tikus.

Logika dari "kekuasan anjing" diatas, sebagaimana kekuasaan presiden sebagai penguasa tunggal negara terhadap semua lembaga baik TNI/Polri maupun Pengadilan. Dengan demikian, prinsip dan integritas lembaga tersebut tidak lagi berlaku. Dari sini juga, kita tentu bisa menilai bahwa kehadiran Jaksa Agung yang seharusnya hadir sebagai "pembersih bagi lantai yang kotor" ternyata tidak demikian, malahan sebaliknya.

Bagi penulis, langkah ini dirancang oleh presiden Jokowi guna mempertahankan posisi Ahok sebagai calon Gubernur DKI dan itu impian presiden yang harus dicapai, bahwa Ahok tetap harus dicalonkan dan harus menjadi pemenang Pilkada DKI Jakarta. Oleh sebab itu, penulis mengajak masyarakat agar lebih jelih melihat teka-teki yang dimainkan oleh Jokowi semenjak kasus Ahok buming.

Upaya pengalihan isu mulai dari makar, aksi bom teroris sampai peresmian mata uank garuda baru secara serentak adalah upaya menutupi proses hukum Ahok. Upaya lain oleh pemerintah adalah dengan mengusung tema selamatkan NKRI dan menjunjung tinggi kebhinekaan, seolah kemajemukan bangsa ini telah pudar. Termasuk sikap "acuh" Jokowi terhapat keresahan publik akibat menjamurnya tenaga kerja asal China dan Tiongkok.

Sikap demikian ditunjukan Jokowi agar masyatakat terus fokus dan mendesak pemerintah agar menertibkan tenaga kerja asing yang berbondong-bondong masuk ke Indonesia. Dengan sendirinya, pandangan masyarakat tidak akan lagi fokus pada kasus Ahok dan hanya tertujuh pada isu baru. Dari sinilah celah sekaligus kesempatan Jokowi membebaskan "anak emasnya" dari jerat hukum.

Akhirnya, penulis beranggapan bahwa posisi Jokowi sekarang sebagai presiden dan seharusnya bersikap netral atas kasus Ahok patut dipertanyakan. Karena ternyata tidak demikian, bahwa presiden bersikap netral dan tidak mustahil juga dalam kasus ini jika tidak ada desakan "sang mami" Megawati terhadap presiden. Karena bagaimanapun juga Ahok diusung oleh PDIP untuk tampil di Pilkada DKI, maka misi itupun harus sukses.

Penulis juga sempat berasumsi setelah mengamati penampilan Jokowi akhir-akhir ini yang seakan tidak berpihak pada Ahok, akan tetapi berdasarkan perkembangan isu yang terus bergantian maka jelas ada skenario besar yang dimainkan Jokowi dibalik semua itu yang tujuannya untuk menggelapkan pandangan publik. Apalagi, proses sidang dikabarkan akan dipindahkan ke pengadilan lain, ada apa gerangan dengan Pengadilan sebelumnya tempat sidang pertama digelar hingga harus dipindahkan ke pengadilan lain. Hal ini semakin jelas dan dengan sendirinya seakan Jokowi berbicara jujur kalau ia berada di belakang Ahok.


Penulis: Rifaldi Rahalus