Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kebebasan Dan Kekuasaan : Kehendak Dan Paradigma

Gambar ini merupakan sampul dari buku "Merenungkan Libertarianisme".

DARI anarkisme saya belajar menghormati kebebasan. Dari Foucault dan Nietzsche saya belajar untuk mencurigainya. Dari pengalaman hidup keseharian saya belajar untuk menerimanya. Dan saya kemudian tiba pada posisi Sartrean untuk tidak melihat kebebasan sebagai semacam anugrah, tapi takdir yang dihukumkan kepada kita sebagai manusia.

Kebebasan itu unik, karena dalam dirinya sendiri kebebasan itu mustahil. Ia adalah konsep yang bukan hanya elusif tapi juga ilusif. Kebebasan hanya bermakna, dan karenanya ada dalam hubungannya dengan manusia. Karena kebebasan selalu berarti Kebebasan Manusia. Lebih dari itu, kebebasan hanya akan menjadi konsep abstrak yang dihormati kaum anarkis dan dicurigai Foucault dan Nietzsche.

Bagi kaum libertarian, kebebasan adalah antonim ideologis bagi kekuasaan. Libertarianisme, sebagai anarkisme, bukanlah pertama-tama perjuangan membubarkan lembaga bernama negara tapi upaya tak kenal menyerah untuk mempertahankan kebebasan manusia. Akan tetapi keberadaan negara yang secara modernis dipahami sebagai lokus kekuasaan, kemudian mengubah metafisika konflik kebebasan versus kekuasaan menjadi fisika politik pembubaran negara.

Ini tidak keliru hingga saat sebuah logika sederhana menyeruak, jika konsep metafisis kekuasaan terlembagakan dalam negara, maka dimanakah letak kebebasan dalam fisika politik ini? Renzo Novantore meletaknya dalam gejolak jiwa, membuatnya jadi seorang romantis dan berakhir sebagai semacam radikalis yang percuma.

Meski demikian, tulisan-tilisannya jauh lebih berbobot dari sekedar ajakan romantis untuk melakukan perlawanan. Setidaknya dari Novantore saya memporoleh peringatan bahwa praktek hakiki  bagi kebebasan adalah kebebasan itu sendiri.  Disinilah kecurigaan Foucault dan Nietzsche menjadi bermakna (patut dicatat bahwa kecurigaan mereka akan kebebasan tiak sama  dengan kecurigaan konservatif yang akan saya renungkan dalam bagian yang lain dari tulisan ini).

Ketika mengemukakan konsep der wille zur macht, kehendak untuk berkuasa, Nietzsche meski mengandaikan bahwa kehendak ini hanya mungkin dengan pengandaian minimal akan kebebasan manusia. Karena sebagai sebuah konsep etis, kehendak semacam ini pada akhirnya harus dihadapi sebagai pilihan. Bahwa Nietzsche menyangkal hal ini, itu adalah persoalan lain. Artinya, tidak mungkin terhadap satu saja kehendak bagi kompleksitas der wille manusia. Meski demikian kita boleh menerima argumen bahwa, dalam kompleksitasnya, manusia bisa “dicurigai” kebenaran kehendaknya dengan mengambil satu posisi filosofis kajian terhadap kehendaknya itu. Argumen seperti ini akan menyelamatkan dokrin der wille zur macht dari jebakan fundamentalis epistemologis sebagaimana yang dihindari Foucault.

Akan tetapi jika der wille zur macht hanya merupakan langka kajian untuk menghidupkan kecurigaan yang perlu terhadap kompleksitas kreasi umat manusia, maka catatan yang harus diberikan terhadap dokrin ini adalah kemungkinan bagi perumusan suatu dokrin lainnya yang sekiranya bersifat diametral bertentangan terhadapnya. Diperlukan der wille yang lain terhadap macht  yang dikemukakan  Nietzsche untuk menjaga agar dokrin tersebut tetap dapat difungsikan tanpa kehilangan kemampuannya untuk menjadi dasar kajian. Tanpa kehilangan sifatnya sebagai sebuah “kecurigaan yang perlu”. Dan pilihan yang bersifat beda diametral terhadap macht, yang ditawarkan oleh Rothbard, adalah freiheit alias kebebasan.

Renungan seperti ini boleh saja dianggap terlalu sederhana bagi kompleksitas gagasan Nietzsche tersebut. Tapi memang tidak ada yang kompleks menyangkut kebebasan ketika berhadapan dengan problem kekuasaan. Seperti dalam imajinasi puitis Novatore, kebebasan berputar dalam pilihan dan tindakan manusia seperti rasa perih yang mengajak kita untuk menjalani hidup secara otentik. 

Borjius atau bukan, hidup memang dipenuhi dengan kenyataan yang memperhadapkan kita pada pilihan untuk bertindak yang mengandaikan kebebasan untuk bertanggung jawab. Kemungkinan yang lain hanyalah problematisasi yang merengkuh modernitas ke dalam fiksi politik otoritarian. Dan gagasan-gagasan Nietzsche, kita tahu, sangat mungkin terjebak dalam penapsiran praktis yang bersifat otoriter. Untuk masalah ini, ingat saja dalam komples gagasan-gagasan Neitzsche dengan fasisme Nazi.

Der wille zur macht mungkin telah mendasari eksistensi manusia yang melahirkan dunia seperti yang kita kenal saat ini, tapi konsep kebebasan pertama-tama dirumuskan oleh kehendak yang semacam ini juga. Sama dengan kekuasaan, kebebasan dikehendaki oleh sisi lain dari eksistensi. Dalam ruangan interaksi antar manusia pilihan tersediah antara pembentukan hubungan kekuasaan dengan hubungan kebebasan. Dalam pengertian yang lain, kita bisa melihat penguasa atas manusia sebagai paradikma bagi semua pembentukan hubungan, ataukah kita akan memaknainya dengan pembebasan.


Penulis: Amato Assagaf