Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hadia Dirumah Sang Penyair

Hadia Dirumah Sang Penyair - Ia sudah berdiri di depan pintu sambil mengetuk pintu begitu cepat. Tapi tak ada jawaban dari wajah orang yang akan Dia lihat. Di depan pintu itu hanya ada coretan-coretan kata tak beraturan. Sebagian terbaca kata-kata makian, sebagian lagi kata-kata menyebut Tuhan, dan sisanya adalah kebohongan.



Kebohongan yang susah dibuktikan. Kebohongan itu begitu rumit, seperti upaya menemukan sebuah jarum di tumpukan jerami, dan mata kita ditutup selembar kain rapat-rapat. Gelap, begitu gelap dan membuat kepala pening.

Taba-tiba sejumlah kata telah memenuhi ruang tamu. "Ada apa?" kata pendek sang penyair. Dan mendekat sebuah kata yang paling terlihat tua.

"Kami ingin kau berhenti menggunakan tubuh kami untuk memenuhi egomu," protesnya kepada sang penyair.

"Sejak kapan kalian punya hak untuk memprotesku? Akulah yang menentukan hitam-putih tubuh kalian," balas sang penyair dengan wajah yang memerah.

"Hei, Tuan Penyair yang selalu merasa paling pintar dan paling hebat menafsirkan bahasa. Kami sudah memutuskan untuk tak mau lagi kau manipulasi. Biarlah tubuh kami berarti dengan sendirinya, tanpa perlu kau paksa kami menjadi arti yang lainnya."

Sang Penyair terbahak. Semua kata terpencar berhamburan. Beberapa hinggap di rambut kepalanya yang tak beraturan, beberapanya lagi hinggap di kumis dan jenggotnya yang tak lebat. Lelaki penyair itu tertawa lebih keras lagi. Tubuhnya tibah-tibah rebah di lantai. Lalu ia bangkit menuju meja, dan diambilnya sebotol bir sisa tadi pagi. Diteguknya penuh perasaan.

Tak lama kemudian, semua seperti berhenti sunyi. Bahkan jam dinding tak bertik-tak lagi. Sesekali terdengar lenguhan dan napas lembut dari dadanya. Tepat pukul kosong kosong, lelaki itu benar-benar diam. Hanya matanya terlihat liar menatap langit-langit ruang tamu.

Kata-kata kembali mengerumuninya. "Hei Tuan Penyair, jangan mati dulu. Kami hanya bercanda. Bukankah hari ini ulangtahunmu?" Katanya dengan wajah senyum basah air mata sambil mengeluarkan kotak kecil yang terbungkus hias dan rapi..

Malam kian jauh pergi menjemput subuh. Lampu-lampu tenang bertahan dengan sorot terang. Dingin menyusup hingga ke tulang. Di atas lantai tanpa tikar, tertidur pulas seorang lelaki yang pernah berjanji akan menikahi kata-kata. Janji itu dulu didengar oleh para penggemarnya, para penyair muda yang telanjur menganggapnya seorang dewa kata-kata.


Dikutip dari: Kebonmanggis