Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Soma Dampar Yang Tinggal Cerita

Soma Dampar Yang Tinggal Cerita - Aktivitas penangkapan ikan menggunakan soma dampar (pukat pantai) kini tidak bisa ditemukan lagi di kota Manado. Padahal, sejak awal tahun 1960'an, soma dampar menjadi primadona nelayan dan masyarakat pesisir.

Alat tangkap ini - yang terdiri atas jaring, pelampung, pemberat dan tali tarik - sebenarnya memiliki metode pengoperasian yang sederhana. Penangkap, setelah menebarkan pukat ke tengah laut, harus menariknya hingga ke tepi pantai. Hingga ke atas pasir.


Namun, yang membuatnya menarik adalah cerita tentang para nelayan dan simpatisannya yang riuh. Ya, simpatisan. Sebab, penangkapan ikan menggunakan s'oma dampar selalu menyertakan masyarakat umum - sekalipun orang yang tidak dikenal.

Fenomena yang terbilang lumrah. Karena, soma dampar terkadang memerlukan hingga 30 orang untuk menyertakan diri dalam penangkapan ikan. Dan, manusia pun campur-baur: anak-anak, remaja, pemuda hingga orang tua. Semuanya bersemangat menanti ikan yang akan dibawa pulang kerumah.

Harus diakui, menangkap ikan menggunakan soma dampar membuat interaksi makin mesra, baik itu, antara sesama nelayan maupun dengan masyarakat. Orang yang sebelumnya tidak saling kenal bisa berteman akrab setelah melakukan penangkapan ikan. Malahan, di Sario Tumpaan, misalnya, soma dampar menjadi penyebab pernikahan antara gadis. kampung dengan lelaki di luar daerah ini.

Setidaknya, sampai di sini, sebuah kesimpulan bisa ditarik. Bahwa alat tangkap ini merupakan alat tangkap yang bersifat komunal, Kekuatan seorang nelayan saja tak mampu menarik hasil tangkapan yang bisa menyentuh 1 ton. Gotong royong begitu diperlukan untuk mengoperasikannya.

Jelas, ia menjadi primadona kala itu. Sebuah alat tangkap yang memerlukan banyak peranan tangan manusia. Saat itu, anakanak pesisir ingin meneruskan jejak bapaknya. Begitu nampak kebanggan menjadi nelayan tradisional.

Selain bersifat komunal, seperti yang sempat disinggung sebelumnya, soma dampar menandai suatu era jaya nelayan tradisional di Manado. Rata-rata hasil tangkapan adalah 700 kg, malahan bisa menyentuh 1 ton.

Hasil tangkap yang melimpah itu diikuti dengan sistem bagi hasil yang sifatnya kekeluargaan. Tiap orang yang berpartisipasi membantu nelayan, memperoleh jatah ikan untuk dibawa pulang ke rumah- ketika itu disebut 'ikan makan'. Anak nelayan tak mau kalah. Tiap hari mereka berusaha membersihkan sisa-sisa ikan di pukat yang kemudian bisa menjadi uang jajan yang lebih dari cukup untuk sehari. Sementara, istri nelayan (nelayan perempuan) kebagian jatah untuk memperdagangkan hasil tangkap.

Tiap orang melakukan tugasnya, tiap orang memperoleh keberuntungannya. Namun, sejak pembangunan jalan boulevard berlangsung (sekitar tahun 1980'an), lambat-laun soma dampar mulai kehilangan perannya. la tidak berfungsi tanpa menyentuh pesisir. Sebab, bebatuan bukan tempat yang tepat bagi pukat ini.

Apalagi, ketika reklamasi pantai untuk pembangunan pusat perbelanjaan makin gencar. Nelayan tradisional di Manado makin kesulitan memanfaatkan alat tangkap ini. Luasan pantai tak lagi mencukupi untuk penggunaan soma dampar.

Tak ada lagi aktivitas penangkapan yang bersifat gotong royong. Tak ada lagi, sistem bagi hasil yang tak menuntut pamrih. Semuanya tinggal cerita. Dan, soma dampar menjadi kisah manis interaksi sesama manusia di bibir pantai.


Penulis: Danny Telleng (ANTRA Manado)
Sumber: Buletin ANTRA edisi Desember 2013