Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Penyelesaian Masalah Dalam Islam

Islam merupakan satu-satunya agama samawi, ia mempunyai karakteristik khas yang membedakannya dari agama samawi lainnya. Agama samawi yang mendahuluinya Nasrani dan Yahudi diturunkan untuk masa dan daerah tertentu, ia bersifat temporal dan regional. Sedangkan Islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Kecuali itu, Nasrani dan Yahudi dalam bentuknya yang ada sekarang, sudah bukan agama samawi yang murni, ia dapat dikatakan sebagai agama semi-samawi, sebab kitab suci kedua agama ini telah banyak mengalami perubahan dan tercemari fikiran-fikiran manusia.


Islam merupakan ajaran yang bersifat Rabbani, datang dari Allah, bukan produk pemikiran manusia, dan bukan produk lingkungan atau masa tertentu, melainkan merupakan petunjuk yang diberikan kepada manusia sebagai karunia dan rahmat (kasih sayang) dari Allah kepada mereka.

Sayid Qutub (1968) memandang ke-Rabbanian sebagai karakteristik dasar bagi ajaran Islam yang memunculkan dan mewarnai karakteristik-karakteristik lainnya. Dari ke-Rabbanian ini setidak-tidaknya ajaran Islam memiliki karakteristik konstan, universal dan seimbang.

Konstan adalah bahwa ajaran Islam ini bersifat tetap, utuh dan tidak akan pernah berubah; universal adalah bahwa ia menyentuh segala segi dan aspek, menyeluruh dan tidak parsial; sedangkan seimbang adalah bahwa ia mampu menjaga keserasian dan keharmonisan segala aspek dan segi sistem dalam kehidupan.

Karakteristik ajaran yang demikian itu mustahil lahir dari sumber yang memiliki keterbatasan, ia harus lahir dari sumber Rabbani juga. Sumber Rabbani ini maksudnya adalah Al-Quran dan Sunnah. Sunnah dipandang sebagai sumber Rabbani, sebab pada hakikatnya Sunnah ini pun adalah wahyu dari Allah. Sayid Qutub (1968) berpendapat bahwa sumber yang pokok itu hanya satu yaitu Al-Quran, sebab Sunnah itu hanya merupakan penjelmaan daripadanya.

Ahli sunnah wal jamaah (Hamka, 1985) berpendapat bahwa sumber hukum adalah Al-Quran, Sunnah, Ijmak, dan Qiyas. Sementara sebagian ahli berpendapat hanya tiga, yaitu Al-Quran, Sunnah dan Ijtihad. Sekalipun dalam dua pendapat di atas terlihat seperti ada perbedaan, dalam kenyataan pelaksanaannya akan berjalan harmonis, jika masing-masing ijtihad, ijmak dan qiyas itu dipandang sebagai metode dalam pelaksanaan ijtihad.

Penyebutan ketiga sumber Al-Quran, Sunnah dan Ijtihad itu menunjukan urutan kedudukan dan jejang pengaplikasiannya. Yakni apabila ditemukan suatu masalah yang memerlukan pemecahan, maka pertama-tama dicari dari Al-Quran, jika tidak ditemukan dalam Al-Quran maka dicari dari Sunnah, dan akhirnya dicari dengan ijtihad, baik melalui musyawarah untuk mendapatkan ijmak (kesepakatan) maupun melalui qiyas (penganalogian).

Hal ini menjadi justifikasi dari suatu peristiwa (Sunnah) dimana Rasulullah SAW berdialog dengan Mu’ad bin Jabal waktu beliau diangkat sebagai gubernur Yaman, Rasulullah bersabdah:

Bagaimanacaranya kamu memutuskan masalah apabila kepadamu diasongkan suatu masalah? Mu’ad menjawab: Saya akan memutuskan dengan kitab Allah. Jika kamu tidak menemukan dalamk Sunnah Rasul, tanya Rasulullah lebih lanjut. Saya akan berijtihad dengan fikiran saya dan saya tidak akan membiarkannya, jawabnya. Maka Rasulullah menepuk dadanya sambil berkata “Alhamdulillah”, Allah telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sesuai dengan apa yang diridhai oleh Allah dan Rasulnya. (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Turmudzi).

Kecuali itu, ada riwayat lain dari Al-Baghowi, bahwa jika Abu Bakar diminta menyelesaikan suatu masalah atau memutuskan suatu perkara, maka beliau mencari penyelesaiannya dari Kitabullah dan kemudian dari Sunnah Rasul. Apabila ternyata beliau tidak memperoleh hasil dari penelitiannya terhadap Al-Quran dan Sunnah, maka beliau mengundang tokoh-tokoh agama untuk memusyawarahkannya. Selanjutnya, beliau baru memutuskan perkara itu setelah musyawarah memutuskan secara sepakat.